Sunday, March 6, 2016

Percakapan Tiga Ras di Angkot

Kemarin, saat saya akan beranjak menuju Mal Ambassador dari Citywalk Sudirman dengan angkot (angkutan kota). Seseorang penumpang lain masuk setelah saya. Dengan menggunakan perlengkapan olahraga, baju, celana pendek, dan sepatu sport, laki laki itu memilih tempat duduk berhadap hadapan dengan saya. Dari perawakannya yang ditutupi masker, dia tampak berumur 30-40 tahunan.

Tidak lama, dia menyapa saya, dan menanyakan hendak kemana. Saya jawab saja, Mall Ambasador. Kemudian dia mengulangi lagi kata kata saya. "Oh, Moru Ambasadoru?". Karena lafal L-nya dibuat menjadi pakai 'r', saya tahu bahwa bapak ini berasal dari negeri sakura. Saya pun menanyakan balik, "Anata wa Nihon-Jin desu Ka?" - Anda orang jepang ya?

Sontak Bapak itu kaget dan semakin tertarik berbicara kepada saya. Dia menanyakan dimana saya belajar bahasa jepang dan tidak segan-segan bercerita tentang dirinya. Hal yang tidak umum untuk sebagian orang jepang yang introvert kepada orang yang baru saja ditemui\. 

Angkot kami berjalan sangat pelan, sang supir sambil membidik penumpang lain yang akan ikut. Maklum, saat itu hari sabtu, dimana bukan pasar yang bagus buat jurusan tersebut. Biasanya jam jam pulang kantor, angkot ini dipenuhi pegawai dari gedung gedung bertingkat. Tidak lama kami melewati salah satu tempat maksiat, karaoke dan pijat plus plus berinisial F.

Bapak Jepang tiba tiba menanyakan, tanpa basa-basi.'Itu F, bisa tempat buat pijat ya?'. Saya pun bingung menjawab bagaimana. Karena di pekerjaan saya sebelumnya, ada mantan pekerja disana yang dengan senang hati menceritakan seluk beluk tempat tersebut. Jadi saya tahu apa yang ada di dalamnya. Sebelum menjawab, saya pun celingak celinguk dulu ke kanan kiri. Meyakinkan tidak ada yang memperhatikan. Ternyata, di belakang hanya ada kita berdua. Dan penumpang serta supir tidak memedulikan percakapan kami.

'Iya pijat, tapi, its not normal massage'. jawab saya
'HAH?' si Bapak Jepang bingung dan kaget. Antara tidak mengerti perkataan saya, atau kaget ada tempat seperti itu di daerah Karet.
Saya pun menjawab lagi, 'Yes, itu tempat massage' dengan gerak tangan mengisyaratkan tanda kutip
Awalnya si Bapak Jepang tetap tidak mengerti, kemudian instingnya masuk.
'Oooh, jadi bisa "begitu" ya? Mahal ya? Satu juta ada? Bisa? Cewenya bagus bagus kah?'

'Aduh, ini kenapa jadi pembahasannya begini yak?' dalam hati. Saya cuma menjawab sekenanya saja. Yang penting Bapak Jepang itu tidak merasa dicueki. Tapi dia tahu sih, kalau sumbernya di Kota karena sudah dua tahun tinggal di Jakarta. Entah memang suka jajan di luar, atau hanya tahu tahu saja.

Tidak lama, sebelum menaiki fly over yang membentangi Jalan Sudirman, seorang Bapak lagi dengan tubuh gempal, mata besar, dan berkumis, menyetop angkot kami. Kemudian Bapak itu menanyakan suatu tempat dengan bahasa asing. Supir angkot pun tidak paham. Sewaktu saya menanyakan lagi, ternyata dia juga akan turun di Mall Ambassador. Langsung si Bapak gempal menaiki angkot bersama kami.

Bapak Jepang kembali menyambut kehadiran si Bapak gempal itu dengan ramah. Setelah bercakap cakap,dia datang dari Mesir dan hanya empat bulan di Jakarta. Jadi, dia tidak bisa berbahasa indonesia. Namun, dari gesture serta cara menjawabnya, berbeda sekali dengan si Bapak Jepang yang sangat ramah. Bapak Mesir cenderung introvert. Terlebih dia kelihatan kesal sewaktu si Bapak Jepang, menyangka kalau Mesir dan Arab itu sama. Saya pun cuma terkekeh, membantu mentranslate dari bahasa inggris ke indonesia, kemudian sebaliknya.

Kemudian, saya iseng menanyakan kepada Bapak Jepang menganai makanan Indonesia. Dia bilang, 'Ya! Saya suka nasi goreng, bakso, dan bubur. Bubur saya coba kemarin enak sekali'. Si Bapak Mesir, tidak tahu menahu tentang bubur ketika ditanyai oleh si Bapak Jepang. Kemudian, dia malah bercerita kalau anaknya suka sekali makanan Jepang, sushi. Berharap respon dari Bapak Jepang mungkin bagus, alih alih dia menjawab.

'Aaah, sushi mahal lah, makanan Indonesia murah!' Sambil menatap wajah saya, menginginkan
adanya dukungan terhadap statement yang dia berikan. 'Dua puluh ribu saja sudah bisa makan'. 
Si Bapak Mesir tidak mengindahkan pernyataan si Bapak Jepang tersebut. Ternyata dia menduduki
posisi penting di perusahaan asal negaranya, dan tidak berekspektasi jika orang dari negara yang memiliki living cost termahal bisa menjawab seperti itu. 

Saya pun geli sendiri dalam hati. Karena sebenarnya, apa yang diekspreksikan setiap individu tidak bisa selalu dihubungkan dengan budayanya. Yang biasa kita sebut dengan stereotype. Apakah orang jepang selalu harus hidup mewah dan tidak slebor? Apakah pemegang perusahaan penting di suatu negara harus naik taksi, bukan angkot? Yang pasti saya cukup terhibur dengan ke-randoman di angkot petang itu.

Tidak lama, kami tiba di Mall Ambassador. Dua orang penumpang Ibu-ibu, menaiki angkot kami. Si Bapak Jepang kemudian menyambutnya kembali dengan berkata, 'Soree.. Silahkan silahkan'. Si Bapak Mesir kemudian turun duluan, dan mengucapkan Assalamu'alakum kepada kami berdua. Disusul saya sendiri.

Sungguh random.







No comments:

Post a Comment