Sunday, June 8, 2014

Lombok trip

Bulan Mei kemarin saya beruntung bisa jalan jalan kembali ke salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.  Lombok namanya . Memang sih tidak sedikit orang yang berpelesir ke bagian tengah Indonesia ini. Banyak orang yang sudah bolak balik dan menulis cerita tentangnya.  Apakah itu pantai pantainya, gunung , suku sasak, bahkan kerajinan tenunnya yang terkenal.

Karena saya tidak memiliki kenalan yang available untuk mengantar jalan jalan, jadi kami serombongan memutuskan untuk menggunakan travel agent. Berdasarkan pengalaman kami di Belitung, menggunakan travel agent lebih efektif dan ringkes. Terlebih banyak yang bilang perjalanan dari satu tempat ke tujuan yang lain memakan banyak waktu bahkan terkadang rawan jika sudah malam.

Destinasi yang paling banyak dipilih adalah berkunjung ke pantai pantai tanpa ke Gunung Rinjani. FYI, pantai Lombok masuk ke dalam 1000 places you must see before die. Yang berarti saking banyaknya pantai yang cantik hingga tidak terdefinisikan mesti ke pantai yang mana aja. Well, itinerary yang saya bayar akan mengunjungi Pantai Mawun, Kuta, Aan, Pink, Kelantan, Surga, dan Gili Trawangan. Rasanya sudah tidak sabar untuk menunggu datangnya hari melepas penat Jakarta kala itu.


Total perjalanan saya adalah empat hari tiga malam. DI hari pertama, kami menggunakan pesawat paling pagi demi mendapatkan tiket yang paling murah. Seperti biasa guide sudah menjemput di bandara dengan membawa secarik kertas bertuliskan nama keluarga kami. Welcome service pagi itu cukup menarik dengan mengalungkan syal khas tenunan Lombok bertuliskan ‘Welcome to Lombok’ membuat kesan baik pada travel ini. Namun hal itu memudar perlahan lahan.

Guide kami adalah seorang Bapak bapak berpostur tinggi besar dan sedikit buncit. Kulitnya sawo matang khas orang Indonesia. Dengan menggunakan pakaian adat Lombok lengkap dengan sarung dan topinya, dia memperkenalkan diri. Sebutlah namanya Buntal. Setelah perkenalan basa basi, langsung dia mengantarkan kami ke kendaraan travel.

Voila, ketika mobil menjemput, ternyata beda guide beda juga supir. Yang berarti dengan saya yang total ber empat, akan ada enam Homo Sapiens di dalamnya. Tidak seperti sewaktu saya di Belitung, dimana si supir merangkap sekaligus sebagai guide. Suasana lega bisa gonta ganti posisi duduk sirna seketika. Alhasil saya atau Kakak harus bergantian menjadi korban duduk di paling belakang bersebelahan dengan koper dan tas tas. Ini menjadi pelajaran penting ke depannya supaya bawel di depan sebelum dealing dengan travel.

Pagi itu, kami yang sudah laper minta diberhentikan ke tempat makan terdekat dari bandara yaitu rumah makan yang menjual nasi puyung. Nasi puyung itu adalah nasi putih hangat yang disajikan dengan kacang kedelai goreng tanpa bumbu, suiran ayam pedas, dan sambel. Makanan ini kering banget dan sangat senada dengan Lombok yang sudah sekian bulan tidak diguyur hujan Saking keringnya, banyak dari kita yang tidak bisa menelan bulat-bulat untuk menghabiskan satu porsi yang tidak banyak itu.

Beres sarapan kering, kami langsung bergegas ke destinasi pertama yaitu mengunjungi pengrajin tenun Lombok. Yang ini sudah menjadi salah satu destinasi titipan pemerintah setempat. Yasudah datengin aja, gak mesti beli kain kalau memang tidak ingin membeli. Buat saya yang tidak tertarik dengan hasil tenunan, hal yang menarik di tempat kerajinan itu hanya mesin pemintalnya saja. Bentuknya yang tidak pernah dimodifikasi seakan akan membuat si pengrajin mempertahankan keantikan cara membuat kainnya.

Benar saja, tidak ada satupun dari kami yang tertarik membeli. Entah karena motif dan modelnya yang tidak sesuai atau tempatnya yang kurang menarik. SI Pak Buntal menanya apakah ada yang mencoba baju adat Lombok seperti yang dia pakai. Sontak kami semua menjawab tidak ada. Saya pun menimpali kalau tidak ada satu pun pegawainya yang menawarkan. Dan padahal dalam hati ada rasa sebal, kenapa juga si Pak Buntal  mentah-mentah meninggalkan kami masuk ke dalam.

Rasa sebal tadi cukup tertutupi dengan destinasi selanjutnya yaitu Rumah Sasak. Ibarat vila vila di puncak, sebelum memasuki ke perkampungan ada sebuah plang yang bertuliskan Suku Sasak. Seorang guide lokal sudah menunggu wisatawan yang akan berkunjung ke rumah ini. Dia kerap menjelaskan bagaimana penduduknya bertahan hidup dan melangsungkan kehidupannya.

Isi kampungnya didominasi dengan rumah rumah panggung dengan lumbung padi dan kandang sapi. Mereka tinggal dengan menggunakan alat gerabah, anyaman, serta peralatan tradisional ala kadarnya. Hasil pertanian yang bisa dimakan disesuaikan dengan hasil panen yang ada kala itu. Kalau ada beras ya beras, kalau musim kemarau kebanyakan kacang kedelai menjadi andalan. Sayangnya kompleks Kampung Sasak ini tidak dilengkapi dengan pengaturan tata letak yang strategis. Sehingga membuat satu paduan perspektif foto yang menarik jika kita kunjungi. Berbeda dengan komplek rumah adat yang ada di toraja.

Yang cukup menggelitik dari kunjungan ke Desa Sasak ini adalah ketika kami memasuki sebuah art shop yang ada di salah satu bangunan. Seorang ibu yang tiba tiba girang menyambut kami dan menunjukkan kerajinan khas Lombok. Ada pedang kayu, pajangan kayu, baju tenun, tenunan syal, dan macam lainnya.

Si Ibu penjual tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Maka dia nyerocos bahasa Lombok dan diartikan oleh si Guide kemudian. Yang artinya kira kira begini. “Siapa tahu Ibu minat bisa bantu kami sekampung”. Diberi tahu seperti itu, ya hati orang mana yang tidak pingin membantu. Lalu Ibu saya menanyakan harga sebuah tenunan berukuran 1.5 x 0.5 meter.

Si penjual langsung tersenyum dan menjawab lagi dengan bahasa daerah. Ketika diartikan bunyinya begini. “150 ribu itu harganya, untuk biaya sekampung”. Pemikiran matematis mana yang  berpikir tidak rasional untuk harga sebuah kain yang begitu mahal. Ibu saya dan tante langsung mengerenyitkan alis begitu mendengarnya. Rasanya tidak perlu dibalas dengan kata-kata untuk menjawab harganya mahal. Maka kamipun langsung keluar dari toko tersebut dengan sopan.


Matahari mulai meninggi siang itu, saatnya kami kembali ke mobil kembali bertemu dengan Pak Buntal. Lagi lagi yang ditagih dari kami adalah cerita tentang rumah adat yang unik. Mmang sih rumah tersebut lantainya dibuat dari campuran kotoran sapi. Dia menyebutnya semen empat kaki bukan tiga roda. Kemudian diakhiri dengan ketawa yang garing dan dibuat buat. Seperti ini, “Gimana Mas, Bu, sudah lihat ya tadi semen empat kakinya? Ha ha ha…”

 Dan kami pun menjawab sekenanya saja. Malah sebagian dari kami malah mengetes pertanyaan yang Pak Buntal tidak bisa menjawab. Seperti, “Apa kegiatan para laki-lakinya? Soalnya kita Cuma melihat duduk duduk saja di siang hari. Terus resep tradisional mereka apa saja bahan bahannya?” Benar saja kami hanya diberi jawaban seadanya yang tidak memuaskan.
Matahari kian meninggi ditemani langit tanpa awan sedikitpun. Cakrawala membentang kami yang mulai banyak membantin tentang si Pak Buntal. Setelah dari sini mulai lah destinasi pantai pantai akan dimulai.

2 comments:

  1. akhirnya keluar juga tulisannya, foto-fotonya donk Ndra :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. I'd love too Titis, tapi Laptop kk gw yng memprotek untuk upgrade or install new program tidak menyambut. Semoga THR gw cukup buat beli laptop baru :p

      Delete