Bulan Mei kemarin saya beruntung bisa jalan jalan kembali ke
salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
Lombok namanya . Memang sih tidak sedikit orang yang berpelesir ke
bagian tengah Indonesia ini. Banyak orang yang sudah bolak balik dan menulis cerita
tentangnya. Apakah itu pantai pantainya,
gunung , suku sasak, bahkan kerajinan tenunnya yang terkenal.
Karena saya tidak memiliki kenalan yang available untuk mengantar jalan jalan, jadi kami serombongan memutuskan
untuk menggunakan travel agent. Berdasarkan pengalaman kami di Belitung,
menggunakan travel agent lebih efektif dan ringkes. Terlebih banyak yang bilang
perjalanan dari satu tempat ke tujuan yang lain memakan banyak waktu bahkan
terkadang rawan jika sudah malam.
Destinasi yang paling banyak dipilih adalah berkunjung ke
pantai pantai tanpa ke Gunung Rinjani. FYI, pantai Lombok masuk ke dalam 1000 places you must see before die.
Yang berarti saking banyaknya pantai yang cantik hingga tidak terdefinisikan
mesti ke pantai yang mana aja. Well, itinerary yang saya bayar akan mengunjungi
Pantai Mawun, Kuta, Aan, Pink, Kelantan, Surga, dan Gili Trawangan. Rasanya
sudah tidak sabar untuk menunggu datangnya hari melepas penat Jakarta kala itu.
Total perjalanan saya
adalah empat hari tiga malam. DI hari pertama, kami menggunakan pesawat paling
pagi demi mendapatkan tiket yang paling murah. Seperti biasa guide sudah
menjemput di bandara dengan membawa secarik kertas bertuliskan nama keluarga
kami. Welcome service pagi itu cukup menarik dengan mengalungkan syal khas
tenunan Lombok bertuliskan ‘Welcome to Lombok’ membuat kesan baik pada travel
ini. Namun hal itu memudar perlahan lahan.
Guide kami adalah
seorang Bapak bapak berpostur tinggi besar dan sedikit buncit. Kulitnya sawo
matang khas orang Indonesia. Dengan menggunakan pakaian adat Lombok lengkap
dengan sarung dan topinya, dia memperkenalkan diri. Sebutlah namanya Buntal.
Setelah perkenalan basa basi, langsung dia mengantarkan kami ke kendaraan
travel.
Voila, ketika
mobil menjemput, ternyata beda guide beda juga supir. Yang berarti dengan saya
yang total ber empat, akan ada enam Homo Sapiens di dalamnya. Tidak seperti
sewaktu saya di Belitung, dimana si supir merangkap sekaligus sebagai guide. Suasana lega bisa gonta ganti
posisi duduk sirna seketika. Alhasil saya atau Kakak harus bergantian menjadi
korban duduk di paling belakang bersebelahan dengan koper dan tas tas. Ini
menjadi pelajaran penting ke depannya supaya bawel di depan sebelum dealing dengan travel.
Pagi itu, kami yang sudah laper minta diberhentikan ke tempat
makan terdekat dari bandara yaitu rumah makan yang menjual nasi puyung. Nasi
puyung itu adalah nasi putih hangat yang disajikan dengan kacang kedelai goreng
tanpa bumbu, suiran ayam pedas, dan sambel. Makanan ini kering banget dan
sangat senada dengan Lombok yang sudah sekian bulan tidak diguyur hujan Saking
keringnya, banyak dari kita yang tidak bisa menelan bulat-bulat untuk
menghabiskan satu porsi yang tidak banyak itu.
Beres sarapan kering, kami langsung bergegas ke destinasi
pertama yaitu mengunjungi pengrajin tenun Lombok. Yang ini sudah menjadi salah
satu destinasi titipan pemerintah setempat. Yasudah datengin aja, gak mesti
beli kain kalau memang tidak ingin membeli. Buat saya yang tidak tertarik
dengan hasil tenunan, hal yang menarik di tempat kerajinan itu hanya mesin
pemintalnya saja. Bentuknya yang tidak pernah dimodifikasi seakan akan membuat
si pengrajin mempertahankan keantikan cara membuat kainnya.
Benar saja, tidak ada satupun dari kami yang tertarik
membeli. Entah karena motif dan modelnya yang tidak sesuai atau tempatnya yang
kurang menarik. SI Pak Buntal menanya apakah ada yang mencoba baju adat Lombok
seperti yang dia pakai. Sontak kami semua menjawab tidak ada. Saya pun
menimpali kalau tidak ada satu pun pegawainya yang menawarkan. Dan padahal
dalam hati ada rasa sebal, kenapa juga si Pak Buntal mentah-mentah meninggalkan kami masuk ke
dalam.
Rasa sebal tadi cukup tertutupi dengan destinasi selanjutnya
yaitu Rumah Sasak. Ibarat vila vila di puncak, sebelum memasuki ke perkampungan
ada sebuah plang yang bertuliskan Suku Sasak. Seorang guide lokal sudah menunggu wisatawan yang akan berkunjung ke rumah
ini. Dia kerap menjelaskan bagaimana penduduknya bertahan hidup dan
melangsungkan kehidupannya.
Isi kampungnya didominasi dengan rumah rumah panggung dengan
lumbung padi dan kandang sapi. Mereka tinggal dengan menggunakan alat gerabah,
anyaman, serta peralatan tradisional ala kadarnya. Hasil pertanian yang bisa
dimakan disesuaikan dengan hasil panen yang ada kala itu. Kalau ada beras ya
beras, kalau musim kemarau kebanyakan kacang kedelai menjadi andalan. Sayangnya
kompleks Kampung Sasak ini tidak dilengkapi dengan pengaturan tata letak yang
strategis. Sehingga membuat satu paduan perspektif foto yang menarik jika kita
kunjungi. Berbeda dengan komplek rumah adat yang ada di toraja.
Yang cukup menggelitik dari kunjungan ke Desa Sasak ini
adalah ketika kami memasuki sebuah art shop yang ada di salah satu bangunan.
Seorang ibu yang tiba tiba girang menyambut kami dan menunjukkan kerajinan khas
Lombok. Ada pedang kayu, pajangan kayu, baju tenun, tenunan syal, dan macam
lainnya.
Si Ibu penjual tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Maka
dia nyerocos bahasa Lombok dan diartikan oleh si Guide kemudian. Yang artinya
kira kira begini. “Siapa tahu Ibu minat bisa bantu kami sekampung”. Diberi tahu
seperti itu, ya hati orang mana yang tidak pingin membantu. Lalu Ibu saya
menanyakan harga sebuah tenunan berukuran 1.5 x 0.5 meter.
Si penjual langsung tersenyum dan menjawab lagi dengan
bahasa daerah. Ketika diartikan bunyinya begini. “150 ribu itu harganya, untuk
biaya sekampung”. Pemikiran matematis mana yang
berpikir tidak rasional untuk harga sebuah kain yang begitu mahal. Ibu
saya dan tante langsung mengerenyitkan alis begitu mendengarnya. Rasanya tidak
perlu dibalas dengan kata-kata untuk menjawab harganya mahal. Maka kamipun
langsung keluar dari toko tersebut dengan sopan.
Matahari mulai meninggi siang
itu, saatnya kami kembali ke mobil kembali bertemu dengan Pak Buntal. Lagi lagi
yang ditagih dari kami adalah cerita tentang rumah adat yang unik. Mmang sih
rumah tersebut lantainya dibuat dari campuran kotoran sapi. Dia menyebutnya semen
empat kaki bukan tiga roda. Kemudian diakhiri dengan ketawa yang garing dan
dibuat buat. Seperti ini, “Gimana Mas, Bu, sudah lihat ya tadi semen empat
kakinya? Ha ha ha…”
Dan kami pun menjawab sekenanya saja. Malah
sebagian dari kami malah mengetes pertanyaan yang Pak Buntal tidak bisa
menjawab. Seperti, “Apa kegiatan para laki-lakinya? Soalnya kita Cuma melihat
duduk duduk saja di siang hari. Terus resep tradisional mereka apa saja bahan
bahannya?” Benar saja kami hanya diberi jawaban seadanya yang tidak memuaskan.
Matahari kian meninggi ditemani
langit tanpa awan sedikitpun. Cakrawala membentang kami yang mulai banyak
membantin tentang si Pak Buntal. Setelah dari sini mulai lah destinasi pantai
pantai akan dimulai.
akhirnya keluar juga tulisannya, foto-fotonya donk Ndra :)
ReplyDeleteI'd love too Titis, tapi Laptop kk gw yng memprotek untuk upgrade or install new program tidak menyambut. Semoga THR gw cukup buat beli laptop baru :p
Delete