Sehabis Maghrib kami dijemput oleh Pak Buntal lagi.
Perjalanan menuju tempat makan ada sekitar satu jam perjalanan. Perut sudah
kruyukan kalau tadi tidak sempat diganjel sama sapi dan lontong yang dibeli di pinggir
Pantai Senggigi. Sepanjang perjalanan Pak Buntal bercerita tentang adat Lombok
yang namanya ‘menculik’. Adat ini dilakukan seorang laki laki yang akan
meminang perempuan ketika akan dinikahkan. Entah kenapa, urusan perut lebih
penting ketimbang mendengar culik menculik saat itu.
Sampai juga akhirnya kami di rumah makan Ayam Taliwang Nisa
yang jauh dari hotel. Tidak lama kami duduk di sebuah saung kecilnya, makanan
seperti ayam taliwang, tempe tahu goreng, pelecing kangkung, lalap, ikan bakar,
dan sayur kacang kedelai disuguhi di depan kami. Makanannya terlihat lebih enak
dibandingkan menu makan siang tadi. Yang pastinya gak ada lalet di dalam makanan.
Sudah setengah perjalanan makan, kita bingung, kok minumnya nggak ada ya? AKhirnya kita
memanggil pramusaji dan memesan minum. Tidak lama minuman disuguhkan dan kami
melanjutkan makan. Salah satu makanan yang tidak terlalu tersentuh adalah si
sayur kacang kedelai. Baru malam itu, saya mencoba kacang kedelai dimasak
seperti sop asem. Teksturnya sih lembut, tetapi lidah yang terbiasa memakan
produk olahan seperti tempe tahu atau mungkin natto malah nggak bisa menerimanya bulat bulat. Sudah kenyang dan
hatipun riang, sebellum pulang si Tante meminta Mbak pelayan bill, karena ada beberapa kerupuk yang
kita ambil.
Setelah bill itu
datang, si Tante langsung mengernyitkan alis dan dahinya. “Loh, ini kok
minumnya diikutin juga ya?” Masa nggak termasuk sama paket tournya? Kami pun
juga ikut menimpali hal yang sama. “Seharusnya dikasih kek teh tawar atau air
putih seenggaknya”. Beruntunglah Pak Buntal sekali lagi, hal sepele seperti itu
tidak dianggap masalah besar. Terlebih ketika Tante dan Mama yang nyangkut dahulu di gerbang restoran.
Disana, dua penjaja mutiara imitasi yang dengan harga 1/5 kali lebih murah
dibandingkan toko resmi yang tadi sore kita kunjungin, sudah ngejogrok menjemput rezeki. Sambil
menunggu Mama dan Tante belanja, kita nunggu di mobil. Si Pak Buntal kembali
membuka topik, “Besok kan acaranya free mas,
gak sama saya. Mau kemana?” Tanya Pak Buntal kepo.
Kakak langsung menjawab akan ke Pantai Pink. Dengan nada
datar dan seenak udel, si Pak Buntal menjelaskan kalau ke sana jalanannya tuh
jelek dan berlubang lubang. Lalu dia semakin kepo lagi. Kesananya sama siapa
Mas? Bete, ditanyain lebih detail
karena komennya yang tidak membantu sama sekali, Kakak menjawab dengan teman
yang sudah lama tinggal di Lombok dan tahu daerah pelosok. Naik mobilnya apa ya
belum tahu.
Dibalik jawaban bohong itu padahal kita menyewa satu tur
lagi yang sengaja diselipkan di hari kedua. Tur itu menggunakan mobil 4WD atau four wheel drive yang memang khusus
dibuat untuk melaju di medan yang tidak mulus. Jalan yang berlubang, berbatu,
pasir, bahkan genangan air setinggi hamper satu meter, tentu tidak menjadi
masalah. Karena rodanya yang besar dan kokoh jadi guncangan tidak perlu kerasa.
Begitu juga dengan mesin mesin yang ada di dalamnya.
Salah satu kekecewaan yang
berakumulasi dari tadi pagi tentu bisa kami redam karena kami tahu besok akan
bisa terobati. Dan kami sangat menunggu hari esok untuk segera tiba. Mama dan
Tante sudah selesai belanja mutiara tersebut. Pintu ditutup dan saatnya
mengumpulkan energy kebahagiaan selama satu jam menuju penginapan.
Hari itu Hari Selasa. Setelah sarapan ala hotel yang lokal
dan internasional sekali (Baca: Roti dan Nasi goreng), kami langsung dijemput
oleh dua orang pria yang berkendara mobil jip Land Rover. Namanya adalah Aman
dan Ibo. Aman berpostur tubuh gempal dan mempunyai tinggi rata-rata.
Perawakannya lebih cocok menjadi orang Jawa dibanding Lombok. Sedangkan Ibo
adalah tipikal anak metal dengan tangan bertato dan rambut kribo megar tidak
beraturan.
Perjalanan kami dimulai dengan hati yang suka cita yang
tentunya tanpa Pak Buntal. Dan diawali dengan pemberhentian pertama, belanja
makanan dan minuman untuk perjalanan. Pemberhentian kedua dan ketiga lagi lagi
masih soal belanja makanan. Kalau yang kedua tidak berhenti bisa bisa kita
tidak makan di perjalanan, karena yang diambil adalah nasi kotak. Sedangkan
pemberhentian ketiga? Si Aman turun dan membeli sebuah semangka di sebuah
pondokan kecil.
Oya, untuk yang belum tahu Pantai Pink itu ada dimana,
biarkan saya menjelaskan dengan singkat. Jadi letak Pantai ini ada di tenggara
Pulau Lombok, dimana ada sebuah daratan kecil yang tersambung. Disitulah yang
memiliki nama lain Tangsi berada. Lalu alasan mengapa pantai itu bernama pink adalah
pecahan karang karang yang warna dasarnya pink. Sehingga kalau diamati seksama
warna pasir yang putih dipenuhi dengan buli bulir (emang pulpy?) pecahan karang
pink. Dan pantai seperti ini katanya cuma ada dua di dunia, dimana satu lagi
berada di NTT.
Perjalanan ke Pantai Pink ini memerlukan waktu sekitar tiga
jam dari Senggigi yang berada di Lombok Barat. Jalanan yang kami tempuh selain
jauh, juga tidak mulus aspalnya. Beberapa kali si
Ibo memutar setir ke kiri dan
kanan untuk memilih jalan yang bagus. AKan tetapi kalau dibandingkan dengan
kekhawatiran si Pak Buntal, sebenarnya jalannya tidak rusak rusak amat kok.
Masih bisa dinikmati, malah suasana off
road yang sudah ada di benak kami berempat menguap sudah.
Kata Nyokap, semakin ke Timur, tetumbuhan di Indonesia
semakin eksotis dan tentu cuacanya semakin panas. Menurut Aman, sudah hampir
sebulan tidak hujan di Lombok. Banyak sekali pepohonan yang sudah meranggaskan
daunnya, hingga tersisa beberapa daun hijau saja yang masih kuat memeluk
indahnya ranting-ranting. Entah apa itu nama pohonnya, dengan susunan yang
alamiah, membuat pengalaman untuk saya membuka mata mengenai alam dan
adaptasinya. DI sepanjang jalan, di kiri maupun kanan, pohon pohon dengan
ranting itu menjaga jalanan ini dengan gagah dan anggunnya. Ada yang berdiri
tegak dan ada juga yang meliuk kesana kemari.
Terkadang kita juga dapat memandangi beberapa lahan yang
digarap warga lokal, hamparan pantai, dan hutan, dan semak belukar kembali.
Hingga setelah sekian lama sabar, terdapat beberapa mobil yang sudah parkir di
pinggiran jalan. Akan tetapi, mobil ini tidak ikut berhenti di tempat yang
sama. Kendaraan ini membelok masuk ke kiri dimana terdapat plang bertuliskan ‘Pantai
Pink’.
DI samping plang itu banyak abang-abang yang berjaga jaga di
satu pos khusus. Beberapa di antaranya adalah tukang ojek lokal yang bisa
disewa dengan tariff lima ribu rupiah untuk wisatawan yang malas berjalan kaki
menuju Pantai Pink di bawah sana. Jalanan yang kami lalui cukup terjal dan
sangat jelek. Hingga turunan itu berakhir, kami disuguhi pemandangan pantai
Pink yang sangat mempesona.
Ombak yang tidak ganas kerap maju dan mundur menyapu pasir
yang putih dan kemerah-merahan. Jadi, mana warna pinknya seperti di foto-foto
yang kerap saya lihat di situs situs? Masih bertanya-tanya, si Ibo
memberhentikan mobilnya dan berbicara dengan orang lokal setempat. Sebelum
melakukan wisata di pantai, kami dipersilahkan makan dahulu. Jadi apakah kita
makan nasi kotaknya di depan pantai?
Tidak. Mobil kami melaju mengarungi pasir yang putih dan
menanjak ke sebuah tebing yang lumayan terjal dan tidak diaspal sama sekali. Dari
atas tebing kami dapat melihat eloknya kelokan pantai pink dari sudut yang
berbeda. Gugusan pulau pulau kecil terlihat dari kejauhan disertai dengan air
yang sangat biru dan jernih, bahkan bebatuan koral di dasarnya pun bisa
terlihat. Lalu kami pun dengan gembiranya turun dari mobil untuk mengambil
gambar sejenak.
Kami makan siang di sebuah pondokan kecil yang dibuat oleh
pemerintah daerah setempat. Umumnya, wisatawan lain makan di depan pantai pink
tadi yang berada di bawah. Semilir angin menemani kami yang lahap memakan si
nasi kotak. Saking tenangnya ombak yang menabrak tebing tebing, seakan akan
saat itu kami berada di adegan sebuah film yang sudah diset suaranya. Kalau
memandang ke kanan kami bisa melihat hamparan Pantai Pink dan kalau ke kiri
pemandangannya gugusan pulau kecil dengan laut yang biru. Rasanya ingin sekali
berlama lama di pondokan itu. Namun waktu haruslah dikejar. “Yuk, sekarang
waktunya snorkeling ke Pulau sama Kapten Hook” kata Aman.
Kapten Hook, sepertinya nama samaran. Adalah salah seorang boat man yang ada di pantai ini. Dia
berperawakan sawo matang keling dan mempunyai perangai yang sangat gembira.
Segala pertanyaan yang dilontarkan oleh kami selalu dijawabnya dengan suka
cita. Jadi sekarang kita akan ke Pulau Setelu, tempat kita akan snorkeling.
Jaraknya tidak jauh, sekitar lima menit juga sudah sampai.
Boat dinyalakan
dan semakin menjauhi Pantai Pink. Kami pun melihat sebuah pulau yang sangat
kecil dengan pasir putih dan karang yang besar. Nah, karena Nyokap dan Tante
nggak ikut snorkeling, maka si Kapten menawarkan untuk menunggu di pulau itu.
Tapi karena panas banget, akhirnya mereka memilih untuk menunggu saya dan Kakak
yang snorkeling di atas perahu.
Bagaimana pemandangan bawah laut di Pulau Setelu ini? Ya
Tuhan, ini salah satu karyamu yang paling indah. Terumbu karang disini masih
sangat perawan. Jarang sekali terjadi pemutihan. Walau ikannya tidak besar,
namun sangat beragam sekali yang saya temui. Salah satu di antaranya adalah
ikan badut yang berwarna kuning keemasan. Tidak lama saya bisa bertahan
snorkeling saat itu. Salah satu alasannya adalah karena saya yang sok tidak
memakai life jacket. Salah duanya
adalah, jarak terumbu karangnya yang sangat dekat dengan kaki. Yang bisa bisa
menusuk-nusuk kalau tidak hati-hati. Sebenarnya saya belum puas menikmati
pemandangan snorkeling ini. Semoga lain waktu masih ada kesempatan kembali ke
tempat ini.
Muncul di permukaan boat, pastinya Nyokap menanyakan
bagaimana ikan ikan di bawah. Ikannya memang tidak besar seperti di Maratua
tetapi beragam dan rumahnya masih sangat perawan. Mungkin karena itu juga ikan
ikannya tidak teradaptasi untuk makan roti. FYI, Nyokap dua minggu lalu baru
saja berpelesir ke Karimunjawa dan snorkeling untuk pertama kali. Jadi dia
sangat semangat untuk memberi makan ikan ikan itu roti. Walau kita tahu, ya
sebenernya sih gak boleh ya, secara itu adalah makanan yang sudah diproses.
Senyuman yang lebar membawa perahu ini kembali ke Pantai
Pink. Aman dan Ibo sudah menunggu kami di samping mobil. Kali ini adalah sebuah
kejutan yang sangat brilian. Bagian pinggir mobil disulap dengan memancangkan
tiang yang beratapkan spandek. DI bawahnya kami bisa duduk-duduk santai lagi dengan
kursi lipat. Tidak sampai situ saja, semangka yang segar tadi ternyata disimpan
di sebuah cool box dingin,
dipotong-potong dan disajikan kepada kami. Rasanya segar dan manis bukan main,
ditambah indahnya kombinasi pantai dan laut yang tak habis habisnya kami
kagumi.
Lalu mulailah saya bertanya, kenapa warnanya tidak pink
banget? Alasannya adalah karena matahari masih terik sehingga warnany tidak
terlalu terlihat. Kalau sudah sore atau agak mendung maka warnanya bisa
terlihat dengan sangat jelas. Ibo pun mengambil botol air yang kosong dan
memasukkan pasir yang berada di dekat mobil.
Kalau diperhatikan, butiran pasirnya banyak yang berwarna
pink bukan? Kami pun melihat dengan seksama dan mengangguk sambil menganga.
Tidak lama saya teringat seorang anak laki laki lokal yang berada di Pantai
Kuta. Jadi saat kami datang, penduduk lokal langsung menyerbu kami berharap ada
yang membeli pernak pernik yang mereka jual. Dari mulai gelang, sarung, atau
t-shirt. Namun ada seorang anak yang menjual pasir merica. Sudah botolnya,
botol plastik air kemasan bekas. Secara terang terangan iya memasukkan pasir
itu di depan mata kami. “Yasalam deek, rasanya harus ada pembinaan wirausaha di
lokasi ini”, batin saya dalam hati.
Perjalanan pulang kembali ke Lombok melewati kembali dua
pantai yaitu Pantai Surga dan Kanaan. Dari atas tebing kita bisa melihat gua
jepang dan deburan ombak yang mengamuk di karang karang. Sore itu kami
diperbolehkan naik ke atap mobil sambil menikati sepoi sepoi angin laut.
Terkadang bau bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan menambah rasa eksotis
perjalanan sore itu.
Matahari semakin tenggelam, kami pun masuk kembali ke dalam
mobil. Perjalanan pulang ke hotel di senggigi yang berjarak tempuh tiga jam
tidak berasa dengan sejuta pengalaman seru yang kami alami seharian ini.
No comments:
Post a Comment