Thursday, November 13, 2014

Lombok trip 3

Sehabis Maghrib kami dijemput oleh Pak Buntal lagi. Perjalanan menuju tempat makan ada sekitar satu jam perjalanan. Perut sudah kruyukan kalau tadi tidak sempat diganjel sama sapi dan lontong yang dibeli di pinggir Pantai Senggigi. Sepanjang perjalanan Pak Buntal bercerita tentang adat Lombok yang namanya ‘menculik’. Adat ini dilakukan seorang laki laki yang akan meminang perempuan ketika akan dinikahkan. Entah kenapa, urusan perut lebih penting ketimbang mendengar culik menculik saat itu.

Sampai juga akhirnya kami di rumah makan Ayam Taliwang Nisa yang jauh dari hotel. Tidak lama kami duduk di sebuah saung kecilnya, makanan seperti ayam taliwang, tempe tahu goreng, pelecing kangkung, lalap, ikan bakar, dan sayur kacang kedelai disuguhi di depan kami. Makanannya terlihat lebih enak dibandingkan menu makan siang tadi. Yang pastinya gak ada lalet di dalam makanan.
Sudah setengah perjalanan makan, kita bingung, kok minumnya nggak ada ya? AKhirnya kita memanggil pramusaji dan memesan minum. Tidak lama minuman disuguhkan dan kami melanjutkan makan. Salah satu makanan yang tidak terlalu tersentuh adalah si sayur kacang kedelai. Baru malam itu, saya mencoba kacang kedelai dimasak seperti sop asem. Teksturnya sih lembut, tetapi lidah yang terbiasa memakan produk olahan seperti tempe tahu atau mungkin natto malah nggak bisa menerimanya bulat bulat. Sudah kenyang dan hatipun riang, sebellum pulang si Tante meminta Mbak pelayan bill, karena ada beberapa kerupuk yang kita ambil.

Setelah bill itu datang, si Tante langsung mengernyitkan alis dan dahinya. “Loh, ini kok minumnya diikutin juga ya?” Masa nggak termasuk sama paket tournya? Kami pun juga ikut menimpali hal yang sama. “Seharusnya dikasih kek teh tawar atau air putih seenggaknya”. Beruntunglah Pak Buntal sekali lagi, hal sepele seperti itu tidak dianggap masalah besar. Terlebih ketika Tante dan Mama yang nyangkut dahulu di gerbang restoran.

Disana, dua penjaja mutiara imitasi  yang dengan harga 1/5 kali lebih murah dibandingkan toko resmi yang tadi sore kita kunjungin, sudah ngejogrok menjemput rezeki. Sambil menunggu Mama dan Tante belanja, kita nunggu di mobil. Si Pak Buntal kembali membuka topik, “Besok kan acaranya free mas, gak sama saya. Mau kemana?” Tanya Pak Buntal kepo.

Kakak langsung menjawab akan ke Pantai Pink. Dengan nada datar dan seenak udel, si Pak Buntal menjelaskan kalau ke sana jalanannya tuh jelek dan berlubang lubang. Lalu dia semakin kepo lagi. Kesananya sama siapa Mas? Bete, ditanyain lebih detail karena komennya yang tidak membantu sama sekali, Kakak menjawab dengan teman yang sudah lama tinggal di Lombok dan tahu daerah pelosok. Naik mobilnya apa ya belum tahu.

Dibalik jawaban bohong itu padahal kita menyewa satu tur lagi yang sengaja diselipkan di hari kedua. Tur itu menggunakan mobil 4WD atau four wheel drive yang memang khusus dibuat untuk melaju di medan yang tidak mulus. Jalan yang berlubang, berbatu, pasir, bahkan genangan air setinggi hamper satu meter, tentu tidak menjadi masalah. Karena rodanya yang besar dan kokoh jadi guncangan tidak perlu kerasa. Begitu juga dengan mesin mesin yang ada di dalamnya. 

Salah satu kekecewaan yang berakumulasi dari tadi pagi tentu bisa kami redam karena kami tahu besok akan bisa terobati. Dan kami sangat menunggu hari esok untuk segera tiba. Mama dan Tante sudah selesai belanja mutiara tersebut. Pintu ditutup dan saatnya mengumpulkan energy kebahagiaan selama satu jam menuju penginapan.

Hari itu Hari Selasa. Setelah sarapan ala hotel yang lokal dan internasional sekali (Baca: Roti dan Nasi goreng), kami langsung dijemput oleh dua orang pria yang berkendara mobil jip Land Rover. Namanya adalah Aman dan Ibo. Aman berpostur tubuh gempal dan mempunyai tinggi rata-rata. Perawakannya lebih cocok menjadi orang Jawa dibanding Lombok. Sedangkan Ibo adalah tipikal anak metal dengan tangan bertato dan rambut kribo megar tidak beraturan.

Perjalanan kami dimulai dengan hati yang suka cita yang tentunya tanpa Pak Buntal. Dan diawali dengan pemberhentian pertama, belanja makanan dan minuman untuk perjalanan. Pemberhentian kedua dan ketiga lagi lagi masih soal belanja makanan. Kalau yang kedua tidak berhenti bisa bisa kita tidak makan di perjalanan, karena yang diambil adalah nasi kotak. Sedangkan pemberhentian ketiga? Si Aman turun dan membeli sebuah semangka di sebuah pondokan kecil.

Oya, untuk yang belum tahu Pantai Pink itu ada dimana, biarkan saya menjelaskan dengan singkat. Jadi letak Pantai ini ada di tenggara Pulau Lombok, dimana ada sebuah daratan kecil yang tersambung. Disitulah yang memiliki nama lain Tangsi berada. Lalu alasan mengapa pantai itu bernama pink adalah pecahan karang karang yang warna dasarnya pink. Sehingga kalau diamati seksama warna pasir yang putih dipenuhi dengan buli bulir (emang pulpy?) pecahan karang pink. Dan pantai seperti ini katanya cuma ada dua di dunia, dimana satu lagi berada di NTT.

Perjalanan ke Pantai Pink ini memerlukan waktu sekitar tiga jam dari Senggigi yang berada di Lombok Barat. Jalanan yang kami tempuh selain jauh, juga tidak mulus aspalnya. Beberapa kali si 

Ibo memutar setir ke kiri dan kanan untuk memilih jalan yang bagus. AKan tetapi kalau dibandingkan dengan kekhawatiran si Pak Buntal, sebenarnya jalannya tidak rusak rusak amat kok. Masih bisa dinikmati, malah suasana off road yang sudah ada di benak kami berempat menguap sudah.

Kata Nyokap, semakin ke Timur, tetumbuhan di Indonesia semakin eksotis dan tentu cuacanya semakin panas. Menurut Aman, sudah hampir sebulan tidak hujan di Lombok. Banyak sekali pepohonan yang sudah meranggaskan daunnya, hingga tersisa beberapa daun hijau saja yang masih kuat memeluk indahnya ranting-ranting. Entah apa itu nama pohonnya, dengan susunan yang alamiah, membuat pengalaman untuk saya membuka mata mengenai alam dan adaptasinya. DI sepanjang jalan, di kiri maupun kanan, pohon pohon dengan ranting itu menjaga jalanan ini dengan gagah dan anggunnya. Ada yang berdiri tegak dan ada juga yang meliuk kesana kemari.

Terkadang kita juga dapat memandangi beberapa lahan yang digarap warga lokal, hamparan pantai, dan hutan, dan semak belukar kembali. Hingga setelah sekian lama sabar, terdapat beberapa mobil yang sudah parkir di pinggiran jalan. Akan tetapi, mobil ini tidak ikut berhenti di tempat yang sama. Kendaraan ini membelok masuk ke kiri dimana terdapat plang bertuliskan ‘Pantai Pink’.

DI samping plang itu banyak abang-abang yang berjaga jaga di satu pos khusus. Beberapa di antaranya adalah tukang ojek lokal yang bisa disewa dengan tariff lima ribu rupiah untuk wisatawan yang malas berjalan kaki menuju Pantai Pink di bawah sana. Jalanan yang kami lalui cukup terjal dan sangat jelek. Hingga turunan itu berakhir, kami disuguhi pemandangan pantai Pink yang sangat mempesona.

Ombak yang tidak ganas kerap maju dan mundur menyapu pasir yang putih dan kemerah-merahan. Jadi, mana warna pinknya seperti di foto-foto yang kerap saya lihat di situs situs? Masih bertanya-tanya, si Ibo memberhentikan mobilnya dan berbicara dengan orang lokal setempat. Sebelum melakukan wisata di pantai, kami dipersilahkan makan dahulu. Jadi apakah kita makan nasi kotaknya di depan pantai?

Tidak. Mobil kami melaju mengarungi pasir yang putih dan menanjak ke sebuah tebing yang lumayan terjal dan tidak diaspal sama sekali. Dari atas tebing kami dapat melihat eloknya kelokan pantai pink dari sudut yang berbeda. Gugusan pulau pulau kecil terlihat dari kejauhan disertai dengan air yang sangat biru dan jernih, bahkan bebatuan koral di dasarnya pun bisa terlihat. Lalu kami pun dengan gembiranya turun dari mobil untuk mengambil gambar sejenak.

Kami makan siang di sebuah pondokan kecil yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Umumnya, wisatawan lain makan di depan pantai pink tadi yang berada di bawah. Semilir angin menemani kami yang lahap memakan si nasi kotak. Saking tenangnya ombak yang menabrak tebing tebing, seakan akan saat itu kami berada di adegan sebuah film yang sudah diset suaranya. Kalau memandang ke kanan kami bisa melihat hamparan Pantai Pink dan kalau ke kiri pemandangannya gugusan pulau kecil dengan laut yang biru. Rasanya ingin sekali berlama lama di pondokan itu. Namun waktu haruslah dikejar. “Yuk, sekarang waktunya snorkeling ke Pulau sama Kapten Hook” kata Aman.

Kapten Hook, sepertinya nama samaran. Adalah salah seorang boat man yang ada di pantai ini. Dia berperawakan sawo matang keling dan mempunyai perangai yang sangat gembira. Segala pertanyaan yang dilontarkan oleh kami selalu dijawabnya dengan suka cita. Jadi sekarang kita akan ke Pulau Setelu, tempat kita akan snorkeling. Jaraknya tidak jauh, sekitar lima menit juga sudah sampai.
Boat dinyalakan dan semakin menjauhi Pantai Pink. Kami pun melihat sebuah pulau yang sangat kecil dengan pasir putih dan karang yang besar. Nah, karena Nyokap dan Tante nggak ikut snorkeling, maka si Kapten menawarkan untuk menunggu di pulau itu. Tapi karena panas banget, akhirnya mereka memilih untuk menunggu saya dan Kakak yang snorkeling di atas perahu.

Bagaimana pemandangan bawah laut di Pulau Setelu ini? Ya Tuhan, ini salah satu karyamu yang paling indah. Terumbu karang disini masih sangat perawan. Jarang sekali terjadi pemutihan. Walau ikannya tidak besar, namun sangat beragam sekali yang saya temui. Salah satu di antaranya adalah ikan badut yang berwarna kuning keemasan. Tidak lama saya bisa bertahan snorkeling saat itu. Salah satu alasannya adalah karena saya yang sok tidak memakai life jacket. Salah duanya adalah, jarak terumbu karangnya yang sangat dekat dengan kaki. Yang bisa bisa menusuk-nusuk kalau tidak hati-hati. Sebenarnya saya belum puas menikmati pemandangan snorkeling ini. Semoga lain waktu masih ada kesempatan kembali ke tempat ini.

Muncul di permukaan boat, pastinya Nyokap menanyakan bagaimana ikan ikan di bawah. Ikannya memang tidak besar seperti di Maratua tetapi beragam dan rumahnya masih sangat perawan. Mungkin karena itu juga ikan ikannya tidak teradaptasi untuk makan roti. FYI, Nyokap dua minggu lalu baru saja berpelesir ke Karimunjawa dan snorkeling untuk pertama kali. Jadi dia sangat semangat untuk memberi makan ikan ikan itu roti. Walau kita tahu, ya sebenernya sih gak boleh ya, secara itu adalah makanan yang sudah diproses.

Senyuman yang lebar membawa perahu ini kembali ke Pantai Pink. Aman dan Ibo sudah menunggu kami di samping mobil. Kali ini adalah sebuah kejutan yang sangat brilian. Bagian pinggir mobil disulap dengan memancangkan tiang yang beratapkan spandek. DI bawahnya kami bisa duduk-duduk santai lagi dengan kursi lipat. Tidak sampai situ saja, semangka yang segar tadi ternyata disimpan di sebuah cool box dingin, dipotong-potong dan disajikan kepada kami. Rasanya segar dan manis bukan main, ditambah indahnya kombinasi pantai dan laut yang tak habis habisnya kami kagumi.
Lalu mulailah saya bertanya, kenapa warnanya tidak pink banget? Alasannya adalah karena matahari masih terik sehingga warnany tidak terlalu terlihat. Kalau sudah sore atau agak mendung maka warnanya bisa terlihat dengan sangat jelas. Ibo pun mengambil botol air yang kosong dan memasukkan pasir yang berada di dekat mobil.

Kalau diperhatikan, butiran pasirnya banyak yang berwarna pink bukan? Kami pun melihat dengan seksama dan mengangguk sambil menganga. Tidak lama saya teringat seorang anak laki laki lokal yang berada di Pantai Kuta. Jadi saat kami datang, penduduk lokal langsung menyerbu kami berharap ada yang membeli pernak pernik yang mereka jual. Dari mulai gelang, sarung, atau t-shirt. Namun ada seorang anak yang menjual pasir merica. Sudah botolnya, botol plastik air kemasan bekas. Secara terang terangan iya memasukkan pasir itu di depan mata kami. “Yasalam deek, rasanya harus ada pembinaan wirausaha di lokasi ini”, batin saya dalam hati.

Perjalanan pulang kembali ke Lombok melewati kembali dua pantai yaitu Pantai Surga dan Kanaan. Dari atas tebing kita bisa melihat gua jepang dan deburan ombak yang mengamuk di karang karang. Sore itu kami diperbolehkan naik ke atap mobil sambil menikati sepoi sepoi angin laut. Terkadang bau bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan menambah rasa eksotis perjalanan sore itu.

Matahari semakin tenggelam, kami pun masuk kembali ke dalam mobil. Perjalanan pulang ke hotel di senggigi yang berjarak tempuh tiga jam tidak berasa dengan sejuta pengalaman seru yang kami alami seharian ini.

No comments:

Post a Comment