Thursday, November 13, 2014

Lombok trip 2

Mobil kami melesat ke jalan jalan yang semakin mengecil dan menanjak. Bangunan toko yang menjual makanan hidangan laut yang awalnya berderet deret, lama kelamaan mulai tidak ada. Hanya tinggal padang ilalang dan semak belukar. Kami tiba di tujuan. Pemandangan pantai pertama yang disajikan siang hari itu adalah Pantai Mawun. Kata Pak Buntal, butiran pantai disini bentuknya seperti merica jadi besar besar dan berwarna putih seperti merica.

Dentuman ombak di pantai ini tidak besar, airnya pun tenang. Beberapa wisatawan asing asik berjemur atau berenang-renang di tubir pantai. Kontur pada pantai disini meninggi di bagian barat hingga membentuk pemandangan bukit hijau kecil. Seakan akan pemandangan Pantai Mawun menyajikan gunung dan laut secara bersamaan. Kontrasnya warna pasir yang putih, air yang sebiru kristal, dan bukit yang hijau segar memanjakan mata ini pada karunia yang maha kuasa.


Lalu, apa kegiatan yang saya dan keluara lakukan? Karena kita tahu destinasi pantai masih banyak. Jadi tidak mungkin kami basah basahan. Meminum kelapa muda di bawah rindangnya nyiur bisa menjadi aktivitas untuk kalangan kita yang gak suka menjemur kulit. Sedang asik asiknya minum kelapa sambil memandangi pantai. Turunlah segerombolan Ibu ibu dari bus dengan baju kelelawar yang bercorak bunga berwarna seterang stabilo.

Sambil tertawa tawa para ibu ibu itu langsung berlari menuju bibir Pantai Mawun untuk foto selfie dengan berbagai macam gaya. Awalnya mereka sok sok-an tidak mau kebasahan, tetapi apa boleh buat dengan keberadaan mereka yang tepat dihadapan laut. Deburan ombak itu akhirnya menabrak satu per satu dari mereka juga. “Kyaa kyaa.. hahahaha..” teriak dan cekikik centil para Ibu-ibu itu. Postur fisik yang sudah menjelang separuh baya mungkin mereka lupakan sejenak. Kami sekeluarga jadi merasa ada tontonan juga dengan kehadiran si ibu ibu ini.

Beberapa dari mereka lelah dan mengakhiri aksinya dan duduk di sebelah kami.  Salah seorang ibu, meminta saya untuk membuka Samsung Galaxy tab-nya karena terus menerus mati nyala.
Gue: Lah ini kenapa Bu Samsungnya?

Ibu: Kecemplung air Mas, tadi pas kita foto foto di pantai, Ibu gak ngerti pakainya gimana. Baru coba pake pertama kali begitu mau pergi.

Perasaan saya pun campur aduk, antara menyayangkan, kasihan, dan geli. Beberapa kali saya mencoba menggeser penutup baterainya tapi tidak bisa bisa. Alhasil ya hanya kata maaf saja karena tidak bisa membantu banyak. Pembicaraan akhirnya berbelok menjadi basa basi menanyakan asal kota kedatangan dan dalam rangka apa berlibur.

Tenyata, rombongan mereka datang jauh-jauh dari Medan dimana sebelumnya sudah sempat berkunjung ke Bali. Banyak pula pantai yang sudah mereka kunjungi. Tetapi entah kenapa katanya, matanya selalu biru kalau melihat pantai. Bahkan baju warna warni ngejreng ini, adalah baju yang dibeli kompakan di Bali. Agar kalau terpencar mudah mencarinya.

Kami pun nyengir sudah menebak nebak mengapa seragamnya seheboh itu.

Boleh juga sih idenya. Tapi kalau dibasahin lagi sampai gak punya back up-an, apakah masih menjadi ide yang bagus?

Sebelum berpindah ke pantai yang dekat dengan Mawun, yaitu Kuta. Kita berhenti sejenak dahulu di sebuah restoran hotel. Di situ, kami menyantap makan siang perdana. Tampilan eksterior restoran ini sih boleh dibilang gedongan dan besar. Tetapi cita rasa dan jenis masakannya? Alamak, kenapa jompang banget ya, serasa diPHP-in.

Menu yang disajikan adalah nasi putih dengan tempe iris goreng, sop wortel dengan bihun, tumis tauge, ikan bumbu manis, dan ayam bumbu kecap bertekstur keras. Dimana lauk yang terenak adalah tempe goreng. Padahal di benak kami, sudah ada bayangan akan menyantap makanan khas Lombok. Tapi yasudah disyukuri saja.

Selesai makan, kami langsung kembali ke mobil. Pak Buntal pun dengan otomatisnya bertanya bagaimana rasanya. Tante menjawab, “Ya lumayan Pak, tapi tadi sopnya gak saya makan, habis ada lalatnya”.

Huek, beruntun si tante baru kasihtahu sekarang. Suasana hening seketika. Tidak ada pembicaraan mengenai pengalaman makan siang lagi. Sepertinya fokus seisi mobil langsung ke tujuan pantai berikutnya, Pantai Kuta.

Pantai Kuta, semua orang menanyakan bedanya apa dengan yang ada di Bali. Well, yang paling signifikan adalah pengunjungnya yang tidak semerawut di Bali. Ombaknya pun kurang bisa dipakai untuk berselancar. Kalau mau berselancar, bisa dilakukan di Pantai Gerupuk yang tidak jauh dari Kuta.

Sepertinya, agak salah ya kalau kita dikasih Pantai Mawun duluan. Karena susunan kontur dan komposisi pemandangannya tidak seunik pantai sebelumnya. Kami memilih tidak lama di Pantai Kuta dan beranjak untuk ke pantai selanjutnya. Dan ketika kita baca tinerary, destinasi berikutnya adalah Tanjung A’an.

Saya ingat betul, saat itu selesai musim liburan semester, dua teman saya sibuk ngobrol tentang Lombok. Satu hal yang saya ingat mereka bercerita tentang Tanjung A’an yang bagus banget dan harus dikunjungin. Memang sih, kalau saya lihat dari foto hasil googling atau hasil narsis teman saya, sepertinya sulit membedakan dengan pantai yang lain. Apa ya yang membuat spesial? Tidak dapat didefinisikan. Maka dari itu, ibarat makanan yang kalau mau tahu lezat harus dimakan. Kalau tempat harus dikunjungin bukan?

Karena biasanya dalam satu tur suka memodikasi lagi itinerary-nya, maka saya penasaran bertanya
“Pak sehabis ini kita kemana?” Tanya saya sambil masih mengelap peluh dan menggontai gontai pasir dari sandal. “Kita langsung ke Mataram Mas, untuk check in ke hotel”.

Kakak langsung sigap mengambil handphonenya dan membaca ulang itinerary yang sudah 
dikirimkan dengan e-mail. “Loh, bukannya harusnya kita ke Tanjung Aan ya Pak !?” tanyanya bersungut sungut. “Enggak Mas, soalnya jalannya jelek kalau kesana”. Jawab si Pak Buntal santai.
Saya langsung kecewa mendengar jawaban tadi sambil menghela nafas.

Beruntunglah Pak Buntal, karena saya dan kakak saya dididik dengan sopan santun. Kalau tidak akan bisa terjadi perang dunia di mobil itu. Dalam etika bisnis, seharusnya ini tidak boleh dilakukan. Karena proses awal dealing dengan customer, ya mau tidak mau harus melewati semua risiko. Apakah itu jalannya rusak, ada badai petir, atau terkikis abrasi laut. Kalaupun memang sampai suatu dealing itu tidak terjadi, seharusnya ada komplementari dari mereka. Mengajak kek ke wisata mana atau ditraktir makan apa gitu!   

Tiga jam perjalanan mobil ini melewati kembali Praya, Bandara udara Lombok, kami sudah mendekati Kota Mataram. Kunjungan singkat berikutnya ke tempat belanja gerabah dan mutiara yang elok tidak membuat hati ini ingin membelinya. Masih tersisa kekecewaan karena tidak singgah ke Tanjung A’an.

Kini mobil kami melaju ke daerah Senggigi. Pemandangan pantai dan penginapan penginapan kini berada di jajaran jalan. Pantai Senggigi dipenuhi kebanyakan wisatawan lokal yang sedang mengerumun di sebuah jembatan menunggu sunset. Airnya biru dan pasirnya berwarna abu-abuan gelap. Mirip dengan pantai yang ada di Bali.

Dahulu Pantai Senggigi  menjadi pantai pujaannya Lombok..

Lamunan saya terbang ke masa lalu, dimana pantai dengan karakter seperti ini membawa saya ke kenangan belasan tahun silam. Di Pantai Kuta Bali. Sambil menunggu sunset dengan langit yang sebiru pastel dan awan yang melingkar lingkar kecil berwarna putih, Saya, Kakak, dan Ibu menunggu turunnya sang surya tenggelam dimakan bumi. Airnya yang tidak tenang terus menerus menderu deru ke bibir pantai. Kami menatap langit hingga warnanya membias dari biru, merah, kuning keemasan, kemudian oranye, pudar, dan menggelap hitam.


Lamunan saya memudar ketika kami tiba di penginapan yang sudah di booking oleh agen ini. Pukul tujuh kami akan dijemput untuk makan malam. Saatnya meluruskan kaki sejenak.

No comments:

Post a Comment