Mobil kami melesat ke jalan jalan
yang semakin mengecil dan menanjak. Bangunan toko yang menjual makanan hidangan
laut yang awalnya berderet deret, lama kelamaan mulai tidak ada. Hanya tinggal
padang ilalang dan semak belukar. Kami tiba di tujuan. Pemandangan pantai
pertama yang disajikan siang hari itu adalah Pantai Mawun. Kata Pak Buntal, butiran
pantai disini bentuknya seperti merica jadi besar besar dan berwarna putih
seperti merica.
Dentuman ombak di pantai ini
tidak besar, airnya pun tenang. Beberapa wisatawan asing asik berjemur atau
berenang-renang di tubir pantai. Kontur pada pantai disini meninggi di bagian
barat hingga membentuk pemandangan bukit hijau kecil. Seakan akan pemandangan
Pantai Mawun menyajikan gunung dan laut secara bersamaan. Kontrasnya warna pasir
yang putih, air yang sebiru kristal, dan bukit yang hijau segar memanjakan mata
ini pada karunia yang maha kuasa.
Lalu, apa kegiatan yang saya dan
keluara lakukan? Karena kita tahu destinasi pantai masih banyak. Jadi tidak
mungkin kami basah basahan. Meminum kelapa muda di bawah rindangnya nyiur bisa
menjadi aktivitas untuk kalangan kita yang gak suka menjemur kulit. Sedang asik
asiknya minum kelapa sambil memandangi pantai. Turunlah segerombolan Ibu ibu dari
bus dengan baju kelelawar yang bercorak bunga berwarna seterang stabilo.
Sambil tertawa tawa para ibu ibu
itu langsung berlari menuju bibir Pantai Mawun untuk foto selfie dengan berbagai macam gaya. Awalnya mereka sok sok-an tidak
mau kebasahan, tetapi apa boleh buat dengan keberadaan mereka yang tepat
dihadapan laut. Deburan ombak itu akhirnya menabrak satu per satu dari mereka
juga. “Kyaa kyaa.. hahahaha..” teriak dan cekikik centil para Ibu-ibu itu. Postur
fisik yang sudah menjelang separuh baya mungkin mereka lupakan sejenak. Kami
sekeluarga jadi merasa ada tontonan juga dengan kehadiran si ibu ibu ini.
Beberapa dari mereka lelah dan
mengakhiri aksinya dan duduk di sebelah kami. Salah seorang ibu, meminta saya untuk membuka
Samsung Galaxy tab-nya karena terus menerus mati nyala.
Gue: Lah ini kenapa Bu Samsungnya?
Ibu: Kecemplung air Mas, tadi pas
kita foto foto di pantai, Ibu gak ngerti pakainya gimana. Baru coba pake
pertama kali begitu mau pergi.
Perasaan saya pun campur aduk,
antara menyayangkan, kasihan, dan geli. Beberapa kali saya mencoba menggeser
penutup baterainya tapi tidak bisa bisa. Alhasil ya hanya kata maaf saja karena
tidak bisa membantu banyak. Pembicaraan akhirnya berbelok menjadi basa basi
menanyakan asal kota kedatangan dan dalam rangka apa berlibur.
Tenyata, rombongan mereka datang
jauh-jauh dari Medan dimana sebelumnya sudah sempat berkunjung ke Bali. Banyak
pula pantai yang sudah mereka kunjungi. Tetapi entah kenapa katanya, matanya
selalu biru kalau melihat pantai. Bahkan baju warna warni ngejreng ini, adalah
baju yang dibeli kompakan di Bali. Agar kalau terpencar mudah mencarinya.
Kami pun nyengir sudah menebak
nebak mengapa seragamnya seheboh itu.
Boleh juga sih idenya. Tapi kalau dibasahin lagi sampai gak punya back up-an, apakah masih menjadi ide
yang bagus?
Sebelum berpindah ke pantai yang
dekat dengan Mawun, yaitu Kuta. Kita berhenti sejenak dahulu di sebuah restoran
hotel. Di situ, kami menyantap makan siang perdana. Tampilan eksterior restoran
ini sih boleh dibilang gedongan dan besar. Tetapi cita rasa dan jenis
masakannya? Alamak, kenapa jompang banget ya, serasa diPHP-in.
Menu yang disajikan adalah nasi
putih dengan tempe iris goreng, sop wortel dengan bihun, tumis tauge, ikan
bumbu manis, dan ayam bumbu kecap bertekstur keras. Dimana lauk yang terenak
adalah tempe goreng. Padahal di benak kami, sudah ada bayangan akan menyantap
makanan khas Lombok. Tapi yasudah disyukuri saja.
Selesai makan, kami langsung
kembali ke mobil. Pak Buntal pun dengan otomatisnya bertanya bagaimana rasanya.
Tante menjawab, “Ya lumayan Pak, tapi tadi sopnya gak saya makan, habis ada
lalatnya”.
Huek, beruntun si tante baru
kasihtahu sekarang. Suasana hening seketika. Tidak ada pembicaraan mengenai
pengalaman makan siang lagi. Sepertinya fokus seisi mobil langsung ke tujuan
pantai berikutnya, Pantai Kuta.
Pantai Kuta, semua orang
menanyakan bedanya apa dengan yang ada di Bali. Well, yang paling signifikan adalah pengunjungnya yang tidak
semerawut di Bali. Ombaknya pun kurang bisa dipakai untuk berselancar. Kalau
mau berselancar, bisa dilakukan di Pantai Gerupuk yang tidak jauh dari Kuta.
Sepertinya, agak salah ya kalau
kita dikasih Pantai Mawun duluan. Karena susunan kontur dan komposisi
pemandangannya tidak seunik pantai sebelumnya. Kami memilih tidak lama di
Pantai Kuta dan beranjak untuk ke pantai selanjutnya. Dan ketika kita baca tinerary, destinasi berikutnya adalah
Tanjung A’an.
Saya ingat betul, saat itu
selesai musim liburan semester, dua teman saya sibuk ngobrol tentang Lombok.
Satu hal yang saya ingat mereka bercerita tentang Tanjung A’an yang bagus
banget dan harus dikunjungin. Memang sih, kalau saya lihat dari foto hasil
googling atau hasil narsis teman saya, sepertinya sulit membedakan dengan
pantai yang lain. Apa ya yang membuat spesial? Tidak dapat didefinisikan. Maka
dari itu, ibarat makanan yang kalau mau tahu lezat harus dimakan. Kalau tempat
harus dikunjungin bukan?
Karena biasanya dalam satu tur suka memodikasi lagi itinerary-nya, maka saya penasaran
bertanya
“Pak sehabis ini kita kemana?” Tanya saya sambil masih
mengelap peluh dan menggontai gontai pasir dari sandal. “Kita langsung ke
Mataram Mas, untuk check in ke
hotel”.
Kakak langsung sigap mengambil handphonenya dan membaca
ulang itinerary yang sudah
dikirimkan
dengan e-mail. “Loh, bukannya harusnya kita ke Tanjung Aan ya Pak !?” tanyanya
bersungut sungut. “Enggak Mas, soalnya jalannya jelek kalau kesana”. Jawab si
Pak Buntal santai.
Saya langsung kecewa mendengar jawaban tadi sambil menghela
nafas.
Beruntunglah Pak Buntal, karena saya dan kakak saya dididik
dengan sopan santun. Kalau tidak akan bisa terjadi perang dunia di mobil itu.
Dalam etika bisnis, seharusnya ini tidak boleh dilakukan. Karena proses awal dealing dengan customer, ya mau tidak mau harus melewati semua risiko. Apakah itu
jalannya rusak, ada badai petir, atau terkikis abrasi laut. Kalaupun memang
sampai suatu dealing itu tidak terjadi, seharusnya ada komplementari dari
mereka. Mengajak kek ke wisata mana
atau ditraktir makan apa gitu!
Tiga jam perjalanan mobil ini melewati kembali Praya,
Bandara udara Lombok, kami sudah mendekati Kota Mataram. Kunjungan singkat
berikutnya ke tempat belanja gerabah dan mutiara yang elok tidak membuat hati
ini ingin membelinya. Masih tersisa kekecewaan karena tidak singgah ke Tanjung
A’an.
Kini mobil kami melaju ke daerah Senggigi. Pemandangan
pantai dan penginapan penginapan kini berada di jajaran jalan. Pantai Senggigi
dipenuhi kebanyakan wisatawan lokal yang sedang mengerumun di sebuah jembatan
menunggu sunset. Airnya biru dan
pasirnya berwarna abu-abuan gelap. Mirip dengan pantai yang ada di Bali.
Dahulu Pantai Senggigi
menjadi pantai pujaannya Lombok..
Lamunan saya terbang ke masa lalu, dimana pantai dengan
karakter seperti ini membawa saya ke kenangan belasan tahun silam. Di Pantai
Kuta Bali. Sambil menunggu sunset dengan langit yang sebiru pastel dan awan
yang melingkar lingkar kecil berwarna putih, Saya, Kakak, dan Ibu menunggu turunnya
sang surya tenggelam dimakan bumi. Airnya yang tidak tenang terus menerus
menderu deru ke bibir pantai. Kami menatap langit hingga warnanya membias dari
biru, merah, kuning keemasan, kemudian oranye, pudar, dan menggelap hitam.
Lamunan saya memudar ketika kami
tiba di penginapan yang sudah di booking
oleh agen ini. Pukul tujuh kami akan dijemput untuk makan malam. Saatnya
meluruskan kaki sejenak.
No comments:
Post a Comment