Dahulu kala, saya orang yang senang sekali mengeluhkan semua hal yang tidak nyaman. Terlebih ketika saya menghadapi suatu pengalaman yang baru. Misalkan saat transisi dari SD ke SMP, SMP ke SMA, dan lagi lagi pada saat SMA ke kuliah. Tapi setelah dipikir pikir dan dirasakan, mengeluh itu banyak tidak baiknya buat diri kita.
Sebelum menulis lebih lanjut, saya mau meluruskan konteks mengeluh yang dimaksud. Keluhan yang sering saya lontarkan sering kali masuk kepada hal hal yang sepele. Semisal, dahulu saya sekolah swasta milik sebuah yayasan dan akhirnya mencoba sekolah negeri pada waktu SMA. Jelas sekali bahwa tipikal guru yang mengajar kita akan berbeda. Jarak kedekatan antara siswa dan guru lebih terasa.
Begitupun juga dengan tuntutan kita dalam memahami pelajaran. Bahkan saya sempet stress lho ketika menghadapi ulangan ulangan di semester awal. Tiada hari dimana saya tidak berkeluh kesah. Apalagi kepada pihak pemerintah saat itu yang menerapkan kurikulum CBSA di tahun satu dan dua lalu bergantu lagi menjadi KTSP di saat saya kelas tiga. Rasanya kami bagai sebuah kelinci percobaan yang tidak tahu akan dibawa kemana saat itu.
Orang yang paling sering mendengarkan celotehan tidak berguna itu adalah ibu saya. Kabar baiknya, beliau cuma pasang kuping saja, tidak ada satupun yang dikomentarinya. Namun, lama kelamaan kebiasaan tersebut mulai pudar. Karena apa?
Saya mulai menyadari, ketika seseorang mengeluh tentang suatu hal yang sepele berarti dia tidak sanggup diri menguasai emosinya. Apalagi kalau keluhan tersebut disampaikan berulang-ulang. Lebih parah lagi, sudah didengar dan diberikan pendapat, masih juga oknum itu mengeluh. Terlebih lagi, dua telinga Homo sapiens belum tentu mampu dan tidak kapok lho mendengar keluhan kita yang gak penting.
Mengeluh itu bisa jadi sebuah kebiasaan. Kalau sudah menjadi kebiasaan memang agak sulit menghilangkannya. Jadi bagaimana solusinya? Nah, untuk mengatasi hal tersebut, saya mencoba mengeluh kepada pihak yang pasti mengetahui saya sedemikian utuhnya. Pihak yang mengetahui kenapa saya patut diberi masalah hingga mengeluh. Pihak yang mengetahui pilihan terbaik untuk mengakhiri kelihan tersebut. Dan jawabannya hanyalah sang pencipta.
Kalau sudah puas mengadu masalah kepada sang pencipta. Maka lepaskanlah beban tersebut seakan akan bukan teman, pacar, kerabat, bos, saudara, orang tua yang akan menghilangkan keluh kesah kita.
Walau sudah tahu kuncinya, belum tentu setiap saat saya bisa dengan mudah mengaplikasikannya.
Saya juga masih terus berlatih setiap hari kok. Tidak selamanya saya selalu menang mengalahkan si emosi. Malah terkadang media sosial juga suka jadi korban perasaan. Yang ada isi dari media tersebut hanya rentetan keluhan. Kalau keluhan itu dikomentari rasanya seneng banget, karena ada yang memerhatikan. Tapi sesungguhnya rasa senang tersebut hanya sesaat kemudian hilang tidak menyelesaikan.
Bedanya kalau saya menang bisa menguasai emosi. Tiba tiba rasa untuk move on dan move up pada sebuah solusi menjadi lebih mudah. Ada saja suatu hal, kegiatan, hadiah, informasi, berita, atau apa saja yang datang tiba tiba untuk meredam rasa emosi kita untuk mengeluh. Kalau sudah begini hati menjadi lapang dan tidak menjadi beban pikiran.
No comments:
Post a Comment