Friday, May 17, 2013

Jalan jalan ke kota tua lagi

*Yang belum baca cerita sebelumnya, monggo bisa mampir dulu ; klik sini

Untuk kedua kalinya dalam kurun waktu yang agak dekat, saya melancong kembali ke Kota Tua. Kali ini saya tidak sendiri. namun bersama mantan siswi SMA teladan dari pulau terpencil NTB. Sebutlah namanya Wati. Wati ini senang sekali kalau diajak ngomongin jalan jalan dan puisi cinta. Kebosanannya kepada laut dan pekerjaan membawanya untuk jalan-jalan ke Ibukota Jakarta yang hiruk pikuk ini. Kebetulan saya lagi libur, jadi Wati mengajak saya untuk explore ke Kota Tua.

Ini foto Wati 1000 tahun yang lalu

Wati sudah menunggu di depan Museum Fatahillah sewaktu saya dateng.
Gw: Uda lama ya?
Wati: Nggak terlalu. Tapi, daritadi didatengin pengamen mulu sih. Ribet, gue kasih aja duit.
Gw: Ooh, kalo gak dikasi duit, dia ngarep dikasih cinta lu juga kali. 
Wati: Grok.. (suara babi).

Gedung pertama yang kita kunjungin adalah Museum Fatahillah, kita sempet gabung sama anak-anak SMP yang lagi diberi pengarahan mengenai satu per satu isi museum sama guide museum tersebut. Tapi pas ikut ke ruangan di lantai ke atas kita memutuskan pisah dengan alasan adanya dialog ini:

Guide: Adik adik, disamping ada lemari dan berbeda beda bentuknya. Ada yang pake kaca dan tidak. Karena itu memiliki fungsi yang berbeda juga. 
Gw (dalem hati): Di rumah gw yang pake kaca isinya komik koleksi, yang gak pake kaca isinya diktat kuliah hihihii.

Akhirnya kita ngelongok di jendela fatahillah yang pernah saya bilang breezy sekali. Kali ini lebih banyak pengunjung dari sekolahan yang dateng daripada dulu. Pohon pohon di lapangannya ternyata sudah meranggaskan daun sehingga menampakkan seluk beluk ranting yang cantik. Dari situ, kita bisa ngeliat Batavia Kafe. Terus si Wati ngajak kesana.

Gw: Serius lo, mau kesana? Tapi kita share aja, biar hemat hehe.
Wati: Iya, emang semahal apa sih?
Gw: Beneran? Ya lumayan lah dibandingin sama makan nasi goreng di abang gang situ.

Interior Batavia Kafe lantai 2
Dan kita akhirnya makan siang di Batavia Kafe. Batavia kafe memiliki dua lantai. Lantai satu untuk smoking area dan lantai duanya non smoking. Bedanya, kalau di lantai satu ambience zaman dulunya dapet banget. Dengan suara lagu jazz yang menggema dan interior klasik membuat seakan-akan kamu ada di setting film MGM. Kalau di lantai dua kamu bisa lihat pemandangan dari jendela. Pemandangan museum fatahillah dan lapangan bisa kita nikmatin dari situ.

seafood pasta
Untuk menu kalau mau hemat, saya saranin pesennya main course aja. Karena harga appetizer, soup, atau saladnya nggak jauh berbeda dengan makanan utama. Untuk minum, dibandingkan dengan soft drink atau mineral water, kamu bisa pilih chinese tea yang bisa dinikmatin hingga empat orang.



Hal lain yang menarik lagi dari kafe ini yang saya kemarin explore adalah kamar mandinya yang penuh dengan foto-foto hitam putih. Walaupun kamar mandi di GI ada yang mengusuung tema seperti ini, tapi foto koleksinya tidak sebanyak Batavia Kafe.

Dari Batavia Kafe, kita lanjut perjalanan ke Museum Bank Indonesia (lagi) karena ber-AC. FYI hari itu tadinya mau ke museum keramik tapi mati listrik, jadi si penjaga tiket, nantangin.

Penjaga tiket: Mbak sama Mas, mau panas-panasan sama gelap nggak? Kalau mau ya silahkan.
Gw: Idih, mending kita ke museum BI aja yuk Ti. (Gak bisa move on dari ACnya desain interiornya)

Di museum BI akhirnya saya menemukan jawaban atas patung hermes yang ada di Fatahillah. Kalau kalian akan ke toilet atau masjid museum BI, ada kaca patri dengan gambar Hermes. Jadi Hermes yang dimaksud adalah mitologi Dewa Yunani sebagai pelindung untuk Ekonomi. Dan karena dulunya Museum Fatahillah dipakai untuk perkantoran, ya pantes lah kalau juga ada patung ini.

interior Toko Merah
Setelah dari situ, kita pergi ke Toko Merah, penasaran ada apa disana sekarang. Dan ketika kami tiba di depannya, ada mobil box yang kita tahu isinya membawa perlengkapan shooting. Akhirnya kami masuk ke dalem dan melihat seisi gedung yang cukup besar tersebut. Ternyata di dalemnya bener-bener kosong melompong, tapi kita tetep takjub kok. Hall utamanya seperti rumah gaya Eropa zaman dahulu, dimana di sisi kiri dan kanannya ada tangga yang menyatu ditengah hingga membentuk podium yang bisa digunakan untuk berpidato jika ada acara acara besar.

Shooting yang dilakukan siang itu ternyata adalah FTV untuk memperingati hari Waisak yang berjudul 'Inikah Rasanya'. Siang itu kita dapet tontonan gratis. Adegan yang lagi diambil adalah dimana Ling-ling yang dilarang Ayahnya untuk berpacaran dengan seorang pribumi. Sayang kita gak kenal sama artisnya, jadi kita nggak menaruh atensi yang lama untuk nonton si Ling-ling ini. Kami akhiri hari itu untuk pulang dengan Trans Jakarta. Sayang, kita agak kesorean, jadi nggak kebagian tempat duduk walau sudah dari terminal paling ujung. Semoga museum di Kota Tua semakin maju dan semakin banyak pengunjung ke depannya.

Gedung kosong yang mencuri perhatian Wati

No comments:

Post a Comment