Monday, October 8, 2012

Food War (Competition and Class)

Saat saya sekolah dulu, bukan zaman lagi untuk belajar tata boga dan tata busana. Dulu, memasak hanya pernah dilakukan sekali di sekolah dasar karena masuk salah satu materi di pelajaran kesenian.  Kalau diingat-diingat, waktu itu menu yang ada gak jelas banget. Ada nasi putih, sayur bayam, sup  makaroni, kentang goreng, sama perkedel (Super aneh). SMP hingga SMA tidak ada sama sekali menyentuh masak memasak di kelas. Sampai di kuliah sih ada, tapi itupun baru saya rasakan di semester empat. Seiring berjalannya kehidupan di kampus, salah satu majalah pangan kampus yang mengadakan kompetisi lomba sushi saat ulang tahunnya yang ke sekian. Merasa tertantang dan didukung teman-teman akhirnya saya maju untuk ikut #modus.

Sushi sebagai yang kalian ketahui, pada dasarnya adalah nasi yang disatukan dengan ikan mentah. Namun, untuk kompetisi kali ini, sushi yang didemokan dan dilombakan adalah fusion sushi. Umumnya fusion sushi ini berbentuk elips dengan ikan yang sudah matang, sayuran, telur, mayonaise, dan balutan nori. Kali itu adalah lomba memasak saya yang pertama. Saya dipasangkan dengan seorang adik kelas lintas fakultas dan ibunya. Walah ngajak ibunya juga ternyata lho... Rasanya agak gimana gitu kalau disandingkan sama ibu-ibu. Singkat cerita kita udah di meja masing-masing, sewaktu memulai lomba saya sudah pasang tampang dan kelakuan manis berharap si ibu ini banyak membantu.

Eh gak disangka-sangka. Ternyata si ibu ini sering latihan di rumah buat masakan-masakan termasuk sushi. Jadi pembagian kerjaya enak deh. Walau saya suka kebagian yang ecek-ecek tapi yang penting si ibu itu ngebantu banget pada saat memotong fusion suhi dan ide-ide yang inovatif. Di akhir sewaktu mempresentasikan, sekarang mereka lah yang mengandalkan saya. Dengan jiwa mahasiswa yang sering presentasi di kelas, akhirnya saya bisa menjelaskan makna dari sushi yang dibuat dan si chef sempat termana +Bangga+. Hingga akhirnya di penghujung acara kelompok kami mendapat nilai tertinggi untuk menjadi juara satu.

Teori tersebut tentulah tidak mutlak. Lain tempat, lain waktu, lain cerita, dan lain hasilnya. Sewaktu saya ikut chocolate cooking class di Jakarta Culinary Festival.  Kali itu saya juga dipasangkan (lagi-lagi) dengan komposisi yang sama. Seorang adik kelas (kali ini lintas universitas) dan ibunya sebutlah Bu Tesi.  Pembicaraan di awal-awal bersama si Ibu Tesi dan anaknya cukup bisa diikuti. Hingga sewaktu kelas berjalan mulailah merasa ada sedikit gangguan.

Sebenarnya si Ibu merhatiin demo dari chefnya, tapi begitu kita mulai di meja sendiri banyak instruksi yang dia gak ikutin. Misalnya sewaktu membuat cokelat Mendiane, sempritan seharusnya tidak dimasukkan ke plastik. Tetapi si Ibu kekeuh mau memasukkan. Untungnya anak si Ibu Tesi tadi memerhatikan dan bisa memberhentikan aksi nekat tersebut. Ya gak heran lagi kalau ditengah-tengah akhirnya banyak sekali komplain dan keluhan yang dia keluar dari mulut Bu Tesi. Yang paling ganggu, sewaktu dia sempat melucu dan saya tidak tertawa karena sedang serius mencetak cokelat malah dibilangnya saya judes (walah). Untunglah kelas ini cuma berjalan sesaat.

Lomba masak saya yang kedua setelah sushi competition dilakukan bersama si Tembaga, Ini adalah klimaks dari kedua cerita sebelumnya yang rada garing #ngaku. Lomba kali ini diadakan oleh himpunan mahasiswa jurusan gizi. Saya waktu itu dalam kondisi semangat 45 untuk mengikuti lomba antar mahasiswa yang ada. Hasilnya? ya tidak ada yang fokus. 

Terlebih sewaktu kuliah atau di luar kuliah, Tembaga tidak pernah masak bersama saya. H-1 lomba masak, kami belum tahu apa yang akan dihidangkan besok hari. Boro-boro sempat membuka internet. Akhirnya saya memutuskan bikin makanan yang ditumpuk (bingung kaan?). Tema kompetisinya adalah tempe dan tahu. Intinya sih menu kami ada puree kentang di atasnya tumpukan daging dari tempe lalu tahunya dibuat semur dengan dibentuk bulat. Side dishnya ada sayuran brokoli kukus. 

Sewaktu lomba mau dimulai, kami bengong sebengongnya waktu melihat persiapan kelompok lain. Mereka sampai pergi ke giant buat beli bahan. Sedangkan saya dan tembaga cuma ke toko bahan makanan terdekat di kampus. Brokolinya sudah agak kuning, bumbu seadanya banget, beneran gak niat deh. Kejadian makin diperparah sewaktu kita memasak. Kita yang tidak ada kesepakatan dan jobdesk di awal jadi bingung sendiri mau ngapain. Akhirnya kita bagi tugas sebisa mungkin. Ditengah-tengah banyak sekali kegagalan yang sudah terjadi. Beginilah kalau dipoinkan:

1. Brokoli kekuningan tadi makin benyek setelah dikukus. Saya kaget sewaktu diberi tahu ada metode ini.
2. Saus keju untuk mengcover kegagalan keju tadi warnanya terlalu gelap entah karena kebanyakan keju dibanding susu atau bagaimana. Tapi kami berhasil mengelabui haha.
3. Saus kecap yang menjadi topping buat semur tahu terbakar sewaktu saya memanaskan di fry pan. Tembaga dan saya pun kaget bukan main. Karena waktunya tinggal 30 detik yasudah, ibarat beras lupa dimasak yang gak jadi nasi #apasih, kita tuangin lah ke tahu yang sudah disemur.

Hasilnya bagaimana? Begitu penilaian, ditengah-tengah seorang juri yang juga dosen kami berkomentar:
 
"Ini kebakar ya saus kecapnya? Wah kalau kena suhu tinggi begini mengakibatkan reaksi yang toksik nih !!!....."

Ups... Apa ? Racun ??? Kalau botol kecap bisa nyedot kita berdua kita sudi deh. Sayang gak bisa. Kamipun pura-pura tidak mengenali masakan itu dan mengalihkan perhatian sejenak. Daaan, tentu saja sore itu bukan kami yang jadi finalis.

No comments:

Post a Comment