Tuesday, September 25, 2012

Reality show, it is so real? (part 1)

Dulu pas masih suka banget nonton televisi, genre acara tentunya berubah sesuai dengan penambahan usia. Pas masih imut-imut, sinteron yang ada masih bagus-bagus. Ceritanya diangkat dari sastra atau novel berkualitas, yang main pun tidak hanya mencari kualitas dari segi fisik apalagi blasteran. Intinya mereka profesional di dalam berkarier. Maklum dulu kan belum ada tv kabel seperti zaman sekarang, jadi yang ada kalau sudah jam tujuh ke atas ya nonton sinetron tersebut. Nah, kalau minggu bererot acara televisi kartun ditayangkan.


Rasanya sampai, stasiun televisi bersaing untuk mendapatkan animo terbanyak. Mulai pagi sekali dulu ada seri drama bule kayak Alex d Mac, Sally yang anjing laut. Terus sempat berubah lagi menjadi kartun jepang ada Wedding Peach terus Chibi Maruko. Yang dari dulu sampai sekarang tetap, ya kartun jam delapan yaitu Doraemon. Semua yang berakhiran mon, tampak sangat wajib untuk ditonton kala itu. Hingga ditutup jam sepuluh dengan serial kartun Crayon Shinchan sewaktu sekolah dasar. Sehabis itu baru deh acara jalan jalan bareng orang rumah dilakuin. Pergi ke rumah saudara atau sekedar makan siang di luar.

Nah, beranjak remaja, semua sinetron bagus menjadi sinetron yang penuh dengan artis blasteran, drama queen, dan plot story yang mengada-ada. Acara gosip yang mengusung aib artist dan aktor bergentayangan pagi, siang, dan malam bahkan banyak yang gak penting sebenernya. Dan terakhir muncullah era reality show di Indonesia yang tentunya juga ingin menuai kesuksesan layaknya di luar negeri.

Awalnya banget, itu ada ajang pencarian bakat. Dimulai dari AFI di indosiar, POP-STAR di trans tv, Indonesian Idol di RCTI, dan KDI di TPI lalu mengikuti banyak kontes pencarian bakat sejenis. Sebagai konsumen yang bisa melihat acara yang ditirunya, tentunya sedikit sedih karena untuk meraih keuntungan yang banyak. Si manajemen acara mengumbar kehidupan pribadi dari kontestan yang dapat membuat iba. Belum lagi kalau ditabloid dilebih-lebihkan detail dari yang tidak pentingnya.

Yang lebih menyedihkan lagi, acara pencarian chef berbakat juga diiringi dengan kehidupan pribadi kontestannya. Haduh, sama sekali bukan citra membangun diri yang dibangun. Kalau begini kapan ya penonton Indonesia bisa lebih banyak mengambil hal positif yang ada dari saluran televisi? Dari tadi kan isinya complaint, jadi bagaimana acara yang bagus? Saya menulisnya di part 2.

No comments:

Post a Comment