Saturday, August 13, 2016

Pameran Seni (Affandy's Alive dan Goresan Juang Kemerdekaan 17:71)

Tiga Tiket Masuk

Datang ke pameran seni, instalasi, fashion, lukisan, atau seni pahat bukan daya tarik untuk semua orang. Termasuk saya.

Contohnya pameran lukisan lukisan yang ada di mall, paling saya hanya berdecak kagum saja. Tapi kurang bisa memaknai apa isi dari masing masing lukisan. Termasuk sarat cerita di dalamnya.

Ada orang yang ikut serta supaya bisa foto foto. Ada juga yang memang hasratnya kepada bidang seni mendalam. Dan ada juga yang memang kolektor benda seni atau tukang belanja.

Satu pengalaman saya berkunjung ke pameran yang cukup dibilang unik. Dimana lukisan yang dipamerkan adalah lukisan Affandy. Cerita awalnya, adalah ketika saya menginap di Hotel New Saphire jalan Adisucipto, Jogjakarta di bulan Juli lalu. Di sebelah hotel tersebut, terdapat satu Mall Lippo yang tidak terlalu besar.

Saat itu hari sudah masuk waktu Maghrib. Setelah shalat, saya iseng berkunjung ke mall sebelah. Dengan pikiran, ada tempat makan yang menarik. Satu per satu lantai saya kunjungi. Kemudian ketika saya naik dengan eskalator, ada sebuah lokasi dengan pelataran yang cukup luas. Pelataran tersebut hanya menyediakan dua meja saja. Saya penasaran dengan lokasi tersebut. Kafe apa yang berani rugi hanya menempatkan dua pasang meja kursi di pelatarannya? Apalagi ini di mall dan terletak di tengah kota!

Karena penasaran, saya mendekati lokasi itu. Setelah tepat berdiri di depannya, ternyata di dalam pelataran sedang diadakan pameran lukisan Affandy. Acara pameran tersebut dinamakan Affandy's Alive. Di depan pameran tersebut ada dua orang yang menjaganya. Satu security dan satu lagi seorang laki-laki yang menjaga tiket. Nama laki laki itu adalah David. 

Dari Mas David, saya mengetahui jika isi dari pameran ini adalah lukisan lukisan yang dikoleksi, dibeli, atau hasil hibal yang dipunyai oleh pemilik Lippo Mall. Ternyata Mas David bukan hanya bertugas sebagai 'tukang jaga karcis', tetapi memang pegawai dari Museum Affandy sendiri yang sedang bertugas. Ketika saya ingin membeli tiket, awalnya dia menawarkan untuk datang saja ke museumnya yang berada di jalan yang sama dengan lokasi mall dan hotel tempat saya menginap.


Saya pun agak kaget, ternyata sedekat itu lokasi museumnya. Belum lagi Museum Affandy sempat menjadi list tempat saya berkunjung, tetapi bukan yang saya prioritaskan. Salah satu saran Mas David untuk berkunjung juga adalah dengan harga yang sama, saya dapat melihat jumlah lukisan yang lebih banyak serta mendapatkan minuman gratis.

Tapi, karena saya pun tidak yakin besok dapat berkunjung dan Mas David berkata kalau yang ditampilkan di Affandy's Alive adalah lukisan lukisan favoritnya Affandy saya semakin tergugah untuk masuk. Urusan besok jadi berkunjung atau tidak, bisa dipikirkan nanti. Toh, dekat juga lokasinya. Namun, saya melontarkan satu pernyataan kembali. Saya mau masuk jika ada yang mau bersedia menjelaskan masing masing lukisan.

Mas David pun dengan sigap bersedia menjelaskan. Tentu saya senang sekali ketika mendengarnya. "Lah, saya kirain mas ini tahunya cuma jaga tiket", kata saya dalam hati.

Dari mulai saya masuk, Mas David menjelaskan secara runut mengenai sejarah Affandy. Dari sejak lahir, diberikan beasiswa okeh Presiden Soekarno, memulai karyanya dengan terlihat goresannya semakin kuat, dan cerita dari masing masing lukisan tentunya. Saya diberi tahu jika Affandy ketika melukis satu tema lukisan akan membuat beberapa buah. Dan sebagian kecil darinya akan diberikan tanda tersendiri. Bahasa kerennya signature. Signature Affandy adalah gambar matahari, dua tangan, dan dua kaki. Dimana maknanya adalah, kita dapat hidup dan bekerja dengan tiga komponen tersebut. Ketika ada satu lukisan yang diberikan signature, berarti lukisan tersebut adalah favorit dan pastinya harganya selangit.

Saat kami berkeliling pun saya dengan bawel suka memotong penjelasan Mas David. Seperti membeli bahannya darimana sejak zaman dahulu. Siapa pelukis yang menjadi kiblat dari Affandy. Dan pertanyaan pertanyaan yang berhubungan dengan masing masing lukisan. Seru sekali lho, ketika tahu apa makna dari masing masing lukisan tersebut. Apa latar belakang membuat lukisan tersebut, cerita apa yang ingin disampaikan, atau mengapa diberikan warna serta goresan yang berbagai rupa. Kehausan saya pun cukup terpenuhi. Hingga akhirnya saya bertukar nomor, dan sangat tertarik untuk berkunjung besok hari.

Keesokan harinya, saya baru bisa datang ke museum pada jam 15.00 sore. Dimana museum akan tutup pada jam 16.00. Sengaja memang saya tidak ingin berjanji atau janjian dengan Mas David. On the spot saja, kalau tidak ketemu ya sudah, tidak apa apa.

Akhirnya saya datang dan mencoba kontak dan ternyata benar. Mas nya sudah ada tugas untuk mendampingi tamu lain. Saya pun berjalan sendiri dari satu gedung ke gedung yang lain, Di setiap bangunan ada petugas yang berjaga. Petugas nya pun dapat ditanyai mengenai lukisan yang dipamerkan di museum. Namun, saya merasa ada lack of information untuk setiap penjaga tersebut. Jika boleh membandingkan dengan Museum Ulen Sentalu, penjaga museumnya pasti akan dengan sama memaparkan konten dan cerita yang harus disampaikan kepada pengunjung. Kalau pun ada yang tidak disampaikan, itu hanya menjadi wawasan lebih bagi individunya.

Mungkin akan lebih menarik jika di awal ada gambaran mengenai silsilah pelukis dan keluarganya dahulu. Baru memasuki lukisan lukisannya. Serta untuk penikmat seni yang bukan pemahamnya, jika di samping lukisan diberikan cerita dua atau tiga paragraf akan lebih sangat menarik. Sehingga kalau pun tidak kepegang oleh pemandu, semua pengunjung dapat lebih memahami isi atau cerita dari lukisan tadi. Ide ini saya dapatkan ketika saya berkunjung ke pameran 17:71 Goresan Juang Kemerdekaan yang diadakan di Galeri Nasional 2-30 Agustus 2016. Awalnya saya sangsi hanya akan menerka nerka isi dari lukisannya ketika berkunjung. Tetapi dugaan saya salah, karena sangat terbantu dengan keterangan yang ada di samping lukisan tadi.

Pemanah
Di pameran tersebut terdapat empat lukisan ikonik yang dipertunjukkan. Yaitu Memanah, Penangkapan Pangeran Dipenogoro, Rini, dan Wanita Melayu dan Bunga. Ketika melihat lukisan memanah yang asli sudah literally sobek sobek dengan pecahan kayu, miris banget. Apalagi sewaktu mengantri, ada pengunjung lain yang berkata di Keraton Jogja terdapat lukisan karya Raden Saleh yang juga tidak terawat.  Duh, yaa kalau tahu harga jual dan nilai sejarahnya seharusnya lebih bisa dijaga dan dirawat, hiks.

Kesimpulan saya saat ini ketika melihat lukisan lukisan dengan segala goresan adalah akan lebih menikmati ketika ada yang menceritakan. Apakah cerita itu fiksi, fakta, atau mitos, toh lukisan adalah karya manusia juga. Bukan karya yang menciptakan manusia bukan?


Wanita Melayu dengan Bunga
Penangkapan Pengeran Dipenogoro
Rini



No comments:

Post a Comment