Sunday, August 7, 2016

Amalan Dunia untuk Akhirat

Salah satu dari amalan yang tidak akan terputus setelah seorang anak Adam wafat adalah amal dan sedekah,

Sebenarnya saya tidak minat menulis mengenai amalan. Terlebih, saya bukan ahli agama. Belajar agama saja masih di level dasar. Praktisioner, cendikiawa, philantrophis, dermawan? Bukan empunya (berdoa sih, untuk masa yang akan datang)

Jadi beginilah ceritanya.

Siang tadi saya berjalan kaki dari sebuah toko percetakan menuju sarana olahraga di bilangan Cilandak. Ketika saya melintasi sebuah pertokoan, tepat di seberang toko percetakan tadi, seorang anak laki-laki berbaju merah memanggil saya. Kira kita, usianya 9-10 tahun.

"Kak, mau beli sajadah nya Kak?"

Kemudian saya tersenyum sambil memberikan tangan. Mengisyaratkan tidak.

Sambil dalam hati bergumam, "ini kan sudah lewat bulan puasa, kok jualan sajadah ya?"

Baru sepuluh meter saya berjalan. Tiba tiba, saya berhenti. Memikirkan pertanyaan di benak saya tadi. Mengapa saya tidak mampir dan beli saja. Siapa tahu murah. Lagian, sajadahnya kalau tidak suka, bisa dihibahkan lagi ke orang lain.

Tanpa berpikir dua kali, saya kembali menghampiri anak itu. Daripada menyesal nantinya.

"Coba dek, mana lihat sajadah nya?"
"Ini mas" sambil memberikan sebuah plastik ke saya

Sajadah tersebut ternyata sajadah bekas. Jumlahnya hanya satu. Warnanya hijau dan memiliki bahan beludru yang tebal. Jenis sajadah yang tidak moderen. Bahasa sekarangnya, jadul. Karena sajadah yang dijajakan sekarang umumnya tipis, sehingga praktis dibawa kemana saja. Saya pun langsung miris mengecek sajadah tanpa mengeluarkannya dari plastik.

"Berapa harganya?"

"Kata ibu, kalau bisa 125.000 aja mas. Untuk bayar kontrakan"

Jujur, saya tidak memiliki uang sebesar itu di dompet. ATM pun cukup jauh dari tempat saya berdiri. Anak itu terus memandangi saya, berharap saya membeli. 

Awalnya saya ingin mengajak anak tersebut untuk makan. Supaya nanti bisa tanya tanya lebih lanjut niatnya. Namun dia menolak, walaupun saya sudah membujuknya lagi dan lagi.

Akhirnya, saya hanya mendapatkan informasi jika dia tidak sekolah. Tidak tahu tinggal dimana, seberapa besar penderitaannya, Ibunya kerja apa, dan lain sebagaimana.

Ya, saya cuma tahu itu.

Karena bujukan saya ditolak mentah mentah, maka saya hanya bisa membantu meringankan uang kontrakan itu tidak sampai setengahnya. Saya hanya berpesan, untuk menjual sajadah tersebut dengan harga selisih dari bantuan yang telah saya berikan. Kemudian, kami berpisah.

Beberapa langkah kaki saya meninggalkannya, saya hanya bertanya tanya. 

Apakah boleh, alat ibadah dijual, seakan akan menjadi senjata untuk belas kasihan?
Jangan jangan, keluarga itu tidak punya sajadah lagi untuk shalat?
Jangan jangan, menjual sajadah sudah menjadi modus meminta minta saat ini?

Dan berbagai jangan jangan lagi yang semuanya negatif.

Loh tiba tiba saya menjadi melankolis begini. Terlebih melankolis yang negatid.

Apapun realitanya, saya hanya berharap semua kekhawatiran dan keraguan tersebut palsu adanya.

Jakarta, 25 Juli 2016



2 comments:

  1. Wah saya juga pernah ngalamin kejadian serupa disini, K. cuma bedanya, yang minta adalah anak Suriah dan nggak pake embel2 jual sajadah. Tapi 'jual adik' *loh

    Allah Maha Pengasih. Tapi smg bantuan2 kecil yang kita berikan bisa sedikit meringankan beban mereka. Semangat beramal we nu penting mah..

    ReplyDelete