Aliran air yang dimaksud |
Di pertengahan tahun 2010, saya melihat genangan air seperti ini di sebuah dermaga terpencil salah satu pulau non destinasi Karimunjawa, Jepara. Bagaimana saya bisa ke dermaga terpencil tersebut? Begini ceritanya.
Waktu itu saya memang berkuliah kerja disana dengan salah satu objektifnya memberikan sudut pandang pentingnya pemberian ASI eksklusif. Jadilah kami mengincar pihak kesehatan seperti puskesmas, bidan, kader posyandu, untuk membantu program kami. Puskesmas karimunjawa yang merupakan pusat dari segala kesehatan di kepulauannya menjadi momok yang sangat spesial untuk kami. Banyak sekali bantuan dan jalan menuju tercapainya program kami karena bantuan bapak dan ibu disana (terharu..).
Nah setiap satu bulan dua kali, puskesmas memiliki program untuk berekspedisi ke pulau pulau kecil. Gunanya apa? Ya untuk mengobati dan meninjau kondisi pasien disana. Mendengar hal ini kami langsung norak dan pingin banget untuk ikut dengan mereka. Apalagi waktu melihat speed boat berukuran sedang yang gagah dengan tulisan puskesmas keliling Karimunjawa di darmaga sintong sungguh membuat kami jatuh hati. Dan coba tebak? Permohonan kami dikabulkan.
Bidan beken Karimunjawa, Mbak Rotun |
Total kelompok kami ada 6 orang. Jadilah dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama berangkat duluan dengan rute yang lebih banyak dan ditambah bermalam satu hari di Desa Parang dan Nyamuk. Kelompok kedua isinya hanya saya dan Ume karena bisa dilakukan dalam satu hari dengan tidak terlalu banyak rute.
Tidak seperti yang diharapkan ternyata harapan kelompok pertama sangatlah gagal. Muka happy mereka saat pergi bertolak belakang saat pulang. Lemes, kucel, bete menghiasi wajah mereka. Ternyata bepergian dengan speed boat dan arus yang tidak bersahabatlah penyebabnya. "Ndra, gw kaya dipental pentalin di kapal. Kursi kapalnya sampe copot. Si linda pake muntah lagi. Lu sama Ume masih sanggup?". Kata si Ale yang sebenernya juga muntah.
Sebenernya agak ragu-ragu. Tapi keputusan sudah bulat, kita gak mau sia-siain kesempatan ini yang mungkin cuma dateng sekali seumur hidup.
Hari itu sabtu pagi, dimana harusnya kalau di jakarta bisa leyeh leyeh bangun pagi dan nonton pak bondan lagi makan di tv. Tapi saya dan ume mesti ke dermaga sintong ketemu sama semua pegawai kesehatan. "Kamu beruntung, hari ini hujan, pasti arusnya tidak ekstrim" kata dr.Mur kepala puskesmas. Dibilang begitu hati kami riang gembira non bermuram durja. Bak anak yang ikut karyawisata kami berdua naik speed boat putih gagah tersebut.
Perjalanan menuju Pulau Genting sekitar dua jam. Satu jam pertama masih norak, foto foto dan ngobrol. Sisanya, si Ume udah gak kuat akhirnya bebaringan di kursi kapal takut pusing. Saya mencoba mengabadikan momen momen menahan pusing dengan membidik ke ujung tepian laut yang gak berujung. Beruntung saya tidak muntah. Sampai tibalah kami ke pulau tersebut.
Bagai pulau tropis lainnya. Setelah ditepian pantai kita melihat dermaga yang dihiasi jembatan kayu ditumbuhi semak belukar dan pohon kelapa. Dari bibir pantai terlihat ada dataran tinggi yang berwarna kemerahan seperti bahan untuk membuat genting. Walaupun katanya tidak asli dibuat genting, tetapi menjadi media yang sangat subur untuk menanam cabe merah atau rawit.
Tugas kami pun dilaksanakan di sebuah pelataran kecil puskesmas pembantu dengan alat yang sangat sederhana yaitu flipchart. Kami senang sekali para ibu-ibu seantero pulau ini tertarik dan banyak bertanya setelah kami menjelaskan pentingnya ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI. Tampaknya mereka sangat senang apabila petugas kesehatan datang kesini. Banyak sekali masyarakat yang menyuguhi hasil alamnya seperti ketela kukus dan umbi-an sebagai rasa terimakasih.
Setelah satu setengah jam kami berbagi, kami ikut pak Mur visit ke rumah yang ditinggali para pasien yang tidak bisa datang. Salah satunya adalah nenek yang sudah cukup berumur dengan penyakit diabetes yang akan bergangren atau nanah. Nenek ini tidak mau untuk diberikan pengobatan khusus di Karimunjawa atau Jepara, menurutnya pemberian resep sang dokter bisa menyembuhkannya. Beribu bujuk dan rayu tidak merubah pendiriannya. Alhasil pemberian resep dan obat yang seadanya hanya bisa dokter berikan saat itu. Walau kasus seperti ini juga banyak ditemui di kota kota besar tapi rasanya melihat kalau mereka harus menempuh lautan untuk mendapatkan pelayanan lebih membuat saya semakin bersyukur dengan hidup ini.
Kini tibalah saatnya menjelang pukul dua kami akan pulang. Pada saat semua crew dan petugas kesehatan naik, tiba-tiba sang teknisi dan supir kapal bilang. "Pak, motornya rusak satu, gimana ya?". Jreng, saya dan Ume langsung kebelingsek mendengarnya. Kalau kalau ingat kita sempet ngetawain rombongan pertama yang pulang pucet pasi sekarang kita yang kualat.
Daripada bermuram durja, kita masih berharap kalau mesinnya pasti cepet bener. Dari duduk di depan kapal, melihat ke ujung pantai, mencari ikan yang tersesat di balik kayu jembatan dermaga sudah khatam kami lakukan. Namun motor kapal tak kunjung usai diperbaiki. Hati semakin cemas, walaupun hal ini lebih baik daripada kapal mogok di tengah jalan (nauzubilah..). Tidak banyak yang kami bisa lakukan lagi. Hanya berharap, pasrah, pura pura gak panik dan hal yang tidak menurunkan kesabaran tim lainnya.
Sampai diujung sore tersebut tiba-tiba si Ume kebelet dan minta ijin ke pinggiran desa untuk "melakukan". Eh gak taunya, mesinnya nyala dan kami sudah on board semua di kapal. Salah satu petugas kesehatan mulai bawelin saya untuk nyariin si Ume supaya buru-buru balik ke kapal. Habis si Ume beres, kita lari-lari di dermaga kayu, pura-pura akting supaya mendramatisir kejadian. Si Ume pun seneng plus sedih. Seneng karena kapalnya udah bisa pulang, sedih karena baru ngerasain pertama kalinya pake jamban ekspres langsung ke laut. Padahal kita kampanye tentang hidup bersih dan sehat.
No comments:
Post a Comment