Saturday, January 26, 2013

26 Desember 2012 itu bukan tsunami (3)



Atasan saya mulai meninggalkan kantor. Beliau menggunakan semua akses yang ada dari gedung kantor untuk melacak keberadaan si pencuri. Sambil berdoa dan menyambi bekerja saya tidak mengetahui apa yang akan terjadi semenit, sejam, bahkan sehari ke depan. Pikiran saya kala sore menjelang sudah mulai blank. Saat saya sadari ternyata asupan glukosa saya sudah mulai kurang. Pikiran dan tenaga serta emosi menyedot habis sisa tenaga yang saya punya sejak pagi hari tadi.

Kalau dalam situasi seperti ini, lebih baik saya mengisi tenaga dahulu. Kalau sebagai pemimpin saja sakit bagaimana bisa mengatur anak buahnya? Persis seperti yang ada dalam adegan Habibie Ainun, namun saya bukanlah presiden dan diri saya sendirilah yang berkata seperti itu. Sewaktu saya makan disamping para karyawan, mereka ada yang bertanya. "Pak, saya udah gak nafsu makan nih. Kok Bapak bisa makan?". Loh kalau merasa tidak bersalah kenapa harus tidak nafsu makan, yang ada adalah menjalani setiap proses ini 


Sewaktu saya makan siang, pikiran saya terbang ke suatu kondisi yang sangat berbeda. Kala itu, keluarga besar saya sedang berlibur ke Balikpapan untuk merayakan libur akhir tahun. Pikiran saya terngiang-ngiang, apa jadinya kalau saya ikut berlibur. Pasti hal seperti ini tidak akan saya alami. Yang ada adalah menikmati indahnya pantai, belajar kebudayaan suku Kalimantan, bercengkrama sesama anggota keluarga, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Bukan hal kelam seperti saat ini bukan? Alangkah merasa kesalnya saat itu, namun tidak ada niatan sama sekali untuk menceritakan ini kepada keluarga. Bisa bisa mereka tidak enak hati mendengarnya dan menjadi tidak nikmat dalam berlibur. Teman-teman dekatpun lah yang menjadi sasaran curahan perasaan tersebut. Beruntung saya memiliki mereka, support dan doa mereka juga lah yang membuat saya kuat dan tenang menghadapi kasus ini.

Setelah saya makan, tidak lama saya kembali dipanggil untuk memberikan kesaksian dan interogasi tahap kedua. Di dalam ruangan yang lampunya sebagian digelapkan, saya dipojokkan sebagai tersangka yang mengambil uang tersebut. Terlebih mereka menghakimi bahwa saya membiarkan Dina membuka brankas tersebut sendiri. Tentunya saya bantah mentah-mentah ucapan Bapak Damian. Setelah itu, beliau menanyakan kepada saya solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus ini dalam waktu 24 jam. Ya tentunya saya tidak memiliki solusi yang jelas. Dan semua argumen yang saya berikan dibantah seakan-akan kita didoktrinasi untuk mengikuti pemikiran beliau. Di ujung saya hanya melihat Direktur saya yang terkadang juga ditanyai terkulai ketika ditanyai oleh Bapak Damian. Beliau sedang hamil dan menjawab dengan kepala tertunduk dan suara yang rendah.

Pembicaraan mengarah kepada satu managemen kantor yang bobrok dan tidak bersih. Kami disudutkan untuk segera dibubarkan dan digantikan dengan yang baru. Mendengar hal tersebut,  tentulah lebih baik untuk saya yang tidak mau terlibat jauh dari kasus ini yang tidak jelas juntrungannya darimana dan kenapa saya yang ada pada saat itu. Di akhir, saya diminta untuk menuliskan kronologi kejadian pagi ini sejelas-jelasnya pada secarik kertas.


No comments:

Post a Comment