Sunday, December 9, 2012

Pengalaman Trans Jakarta: Etika Bisnis dan Servis

Hampir tiga bulan belakangan ini saya menjadi anak Trans Jakarta sejati. Trans Jakarta menjadi sangat efektif apabila armadanya banyak dan koridornya tidak diserobot oleh kendaraan pribadi serta pelayanannya yang 24 jam. Waktu tempuh yang dicapai oleh transportasi umum ini lebih cepat dibandingkan dengan angkutan umum lainnya yang pasti. Sampai saya menulis sekarang, koridor busway sudah semakin banyak. Karena saya bekerja di kawasan Thamrin, dua koridor yang saya lewati adalah koridor 6 dan koridor 1.

Salah satu fasilitas yang saya makin sukai pada awal adalah dengan adanya fasilitas kartu Trans Jakarta atau disebut dengan Jak-Card. Bentuknya seperti ini kalau sudah dibuka dari casenya:


Hanya saja sebenarnya orang-orang tidak tahu kalau benda ini bisa disimpan di dalam dompet dan hanya tinggal ditempelkan saja ke sensor portal yang akan terbuka nantinya. Kartu ini sangat efektif karena kita tidak perlu lagi menyiapkan atau menyimpan uang recehan di dompet. Berhubung tiket satu kali trip adalah 3500 dan uang koin menambah beban dompet kita bukan?

Sayangnya, fasilitas ini sangat fleksibel dan nyaman apabila dilakukan di koridor 6 (Ragunan-Dukuh atas). Selain koridor tersebut, cara memasuki portalnya masih diberlakukan karcis dari kertas yang disobek oleh mas atau mbaknya serta menjadi sampah yang menumpuk. Kartu Jakcard tetap bisa dipakai dengan tetap mengantri dan menempelkan ke jendela loket karcis.

Hal menyebalkan yang pernah saya rasakan adalah ketika saya harus mengejar waktu pulang ke rumah di halte thamrin. Pada saat saya masih agak jauh menuju loket, saya berlari dan menyalip sekian banyak orang agar mendapatkan bus yang sedang melaju ke shelter Thamrin. Sesampainya di loket saya langsung menempelkan dompet saya ke loket. Nah, saking saya pingin buru-burunya, saya tidak mengambil karcis yang diberikan. Alhasil mereka naik pitam. Masalahnya, karcis tersebut tidak ada fungsinya kok, kalau saya mengambil. Toh untuk keluar dari trans jakarta tidak dipungut kembali layaknya naik KRL atau Commuter Line. Keadaan diperparah sewaktu saya sudah berdiri di gerbang dan bus berhenti, salah satu pegawai menyumpahi saya agar tidak kebawa oleh bus tersebut. Seketika saya sempat ngomel-ngomel sendiri dalam hati. Tapi apalah gunanya? Toh, mereka juga yang tidak bakal lebih baik. Harusnya sebagai pelayan publik, mereka lebih bertoleransi bagaimana menghadapi penumpang yang ada. Tahu sendiri kan, bus kita armadanya belum banyak?

Komplain saya di atas, pernah disampaikan dan disiarkan di 101 JakFM, namun ketika para host nya menghubungi pihak trans Jakarta belum ada tanggapan dari mereka. Dengan kata lain, tidak ada yang mengangkat teleponnya. Sebelum menjadi bo waktu, harusnya tiap koridor sudah mencontoh tuh koridor 6, jadi masyarakat kita bisa hidup lebih modern dengan kemudahan teknologi yang ada. 

No comments:

Post a Comment