Sunday, January 26, 2014

Tripping dengan Mantan Mahasiswa/i

Tongsis in action
Hampir dua tahun setelah kelulusan, akhirnya ada juga ide dari seorang untuk jalan jalan lintas provinsi. Tujuannya melepas penat dan temu kangen teman teman seangkatan. Walau niatnya baik, orang tersebut tidak luput dari rasa bersalahnya mengajak kita jalan jalan di musim hujan. Sehingga pada suatu ketika ada tragedi payung tertinggal, ada yang mengeluh harus beli lagi sebelum pulang. 


Yak! Saya dan beberapa rekan mantan mahasiswa yang seangkatan kemarin melakukan jalan jalan ke Sumowono Semarang dan Jogjakarta. Perjalanan semi backpacker ini diawali dengan pertemuan kami di Stasiun Senen dengan naik kereta malam. Dimana malam itu Jakarta sudah diguyur hujan. Kalau saja malam itu ada organ tunggal, pasti lagunya kereta malam by Elvi Sukaesih.

Jumlah personil yang berangkat dari Jakarta ada delapan orang dengan jumlah yang seimbang, empat pria dan empat wanita. Dengan profesi yang berbeda, tetapi kami semua memiliki daya humor yang sama. Terlebih, dua diantara kami adalah penulis buku semi humor best seller se Indonesia. Jadi perjalanan ini gak garing lah ya. Apalagi karena ada saya hahaha #abaikan.

Jadi perjalanan ke Semarang dan Jogajakarta kali itu tergolong absurd, kenapa? Mari dibahas satu per satu (cuma dua sih).

1. Topik wisata
Topik wisata kali ini juga nano nano. Dibilang kulineran, mengunjungi situs purbakala, sejarah, budaya, atau belanja enggak maksimal juga sih walau semuanya cukup kesampean. Karena itenerary kita mencakup ke semua topik, pergi ke prambanan (tapi nggak borobudur), makan gudeg (tapi kereceknya cuma 1 lapis), belanja (satu jam saja waktunya di Malioboro berhubung tokonya mau tutup), dan ada beberapa lainnya. Jadi sampai selesai kita jalan jalan, saya tememberi topik untuk perjalanan kali ini adalah temu kangen hehehe.

2. Rute perjalanan.
Rute perjalanan sudah dibuat dengan rapi oleh teman saya yang berprofesi sebagai IT dan pertukangan. Orangnya cukup apik dan paling rapih. Tapi sayang, dia lupa melakukan detail pada rencananya, seperti akan naik apakah nanti pada saat di Jogja, siapa yang akan menyetir, dimana letak persis penginapan, dimana akan makan siang, dll. Untungnya, semua anggota yang ikut memiliki hati yang woles dengan plan yang easy going ini hehe. Berikut list rutenya:

Jakarta - Semarang - Sumowono - Jogjakarta - Prambanan - Jakarta

Stasiun poncol
Dari Jakarta menuju Semarang kami menumpang kereta malam kelas ekonomi AC. FYI, sekarang semua kereta sudah ber-AC, memiliki stop kontak, dan tidak ada pengamen yang bisa masuk. Karena rata rata dari semua bermajikan kepada perusahaan, maka perjalanan dilakukan di Jumat malam. Kalau yang seninnya gak bisa cuti ya terpaksa harus masuk deh. Di kereta ini sangatlah tidak beruntung kalau kalian memiliki tinggi badan di atas 175 cm. Niscaya kalian harus membentuk kaki sedemikian rupa agar tidak bersinggungan dengan orang yang ada di hadapan kalian. Salah seorang teman saya saja sampai diminta melebarkan kaki dan mbak mbak depannya yang merapatkan kaki (agak absurd memang pas kejadian nyata).

Perjalanan dari Jakarta ke Semarang memakan waktu tujuh jam. Di kursi yang sempit tadi kita semua bisa tertidur walaupun tidak pulas. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi dan kami tiba di Stasiun Semarang. Karena hari sudah memasuki waktu subuh, jadi kami bergantian untuk shalat berhubung mushalanya kecil. Saya termasuk yang selesai shalat duluan dan menunggu yang lain. Pagi itu suhunya cukup dingin disertai hembusan angin, dan tidak tampak cahaya matahari. Benat saja, guyuran air hujan membasahi Semarang pagi itu. Perjalanan kami cukup tertunda setengah jam menunggu redanya deras hujan.

Dari Semarang menuju Sumowono, kami harus menaiki bus antar kota yang bertarif lima ribu per penumpang. Busnya ada tepat di depan stasiun. Dengan muatan penumpang sebanyak dua belas kursi dan AC alam kami bisa mencapai Sumowono dengan waktu satu setengah jam. Di Sumowono sendiri sudah menunggu salah seorang wirausaha cilik cantik dengan mobil besarnya. Kami diminta turun di sebuah pom bensin Sumowono, dan si Makarame dengan balutan baju biru guci menyambut kami dengan sangat riang. Dimana muka kami perlu digosok pakai setrika dan perut kami diisi sepiring nasi.

Tidak disangka sangka, Makarame menyetiri kita sampai ke rumahnya. Bukannya apa apa, ternyata kami adalah objek percobaan pertama beliau tanpa ada pendamping. Kedua, perjalanan ke rumahnya memiliki medan seperti kelok sembilan. Naik, turun, belok, melintang, membujur, dan menikung. Kami pun berdecak kagum ketika Makarame melakukan manuver 180 derat (abaikan). Beruntunglah di perjalanan kami disuguhi dengan pemandangan seperti di puncak. Bedanya, banyak banget karaoke dan hotel hotel menjamur di kiri dan kanan, Bukannya pohon cemara loh...

lumut dan kabut
Rumah Makarame berada di depan terminal lama Sumowono. Sebuah rumah bertema klasik ruko menjadi tempat singgah kami untuk makan dan mandi. Di rumah makarame banyak kami tidak bisa melihat pemandangan dari lantai dua. Kabut putih setelah hujan turun menutupinya. Jadi tidak usah lah mengejar ke desa NTT yang digemborkan iklan Aqua, ternyata ke Sumowono juga sudah bisa. Saking dinginnya, bahkan lumutpun bisa tumbuh di atap rumah Makarame. Atau jangan jangan ini merupakan salah satu budidaya Makarame mungkin.

Makarame sendiri adalah anak bungsu dari dua bersaudari. Kesehariannya dipenuhi oleh kegaduhan cita cita menjadi seorang pengusaha sukses. Jebolan mahasiswi fakultas ekologi manusia ini mendaur ulang bahan bahan yang tidak terpakai lagi menjadi sebuah souvenir nikahan atau wisuda. Dengan tangannya yang cekatan berbagai macam kreasi flanel dan kaktus yang unik bisa dinikmati untuk semua kalangan. Dirinya dibantu oleh warga Sumowono sekitar dengan adanya program posdaya. Untuk pengerjaan sendiri sangat fleksibel, bisa dibawa pulang, Jadi tidak terikat waktu dan tempat. 

Saya sudah mengenal Makarame lebih dekat ketika memiliki kesempatan KKP bersama di Karimunjawa. Disitulah saya menyadari bahwa begitu bisanya saya memasak dan bodohnya saya dalam berketrampilan seni tangan. Waktu itu, ada seorang ibu yang meminta kami dibuatkan hantaran nikah. Dan saya cuma bisa menyemangati Makarame atau paling tidak mendoakan supaya cepat selesai hahaha.

Saat ini bisnis yang dijalankan Makarame dan keluarganya ada cukup banyak. Dimana salah satunya adalah rumah makan. Disinilah mata, mulut, dan hati saya dan Nonly (nama asli) langsung tertuju pada meja makan. Kami dihidangkan sayur tempe, tempe goreng, ayam goreng, sop ikan tenggiri, dan sambel. Dari semuanya, saya paling suka adalah hidangan tempenya. Tempenya sendiri memiliki tekstur dan citarasa kedelai yang sangat berbeza dan gurih. Mungkin inilah kedelai yang bukan produk GMO pikir saya hehe. Hingga sampai akhir mau pamitan, sepertinya saya yang paling banyak makan tempe tersebut.



salah satu kolektor flanel

Pagi itu kami juga melihat secara langsung area penjualan flanel Makarame. Disana kita dengan norak foto foto dengan hasil kreasi Makarame yang sebelomnya pernah ditayangkan di liputan 6 SCTV saja. Ada tutup pulpen, souvenir nikahan, tumpeng, flanel boneka, dan lainnya. Setelah puas mewawancarai Makarame dan menghabiskan makanan di rumahnya, kami diberi merchandise satu per satu. Dan saya mendapat tutup pulpen Elmo hahaha.


Untuk cerita selanjutnya masih bersambung ke part 2





4 comments:

  1. Duh, senangnya MakaraMe diulas :D
    Ngomong2 soal hantaran di Karimunjawa, setidaknya, andra sukses kontribusi bikin cumi-cumi dari br*
    Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha.. uda gitu dibilangnya karya anak smk pula ya niit...

      Delete